Darsono, Berbudidaya Rumput Laut Sembari Mengamat-amati Lingkungan
Catatan Idham Malik
Sejak senin lalu, hujan tidak turun, jadinya seminggu ini kami membiasakan diri dengan siang yang panjang. Dari omong-omong dengan pembudidaya, memang masa produktif pertanian, baik di darat maupun di laut hanya pada musim hujan. Sejak kedatangan saya pada 28 Oktober 2022, hujan mulai turun pada Desember, disertai angin kencang. Bahkan, pada minggu terakhir Desember, beserta awal Januari, malam-malam kami dicekam oleh angin ribut.
Setelah saya membaca sekilas buku “Ura Timu, Etnografi Iklim Mikro Flores”, saya baru sedikit mengerti, kalau kehidupan masyarakat Flores Timur, dan sepertinya juga masyarakat Alor, sebab Alor dan Pulau Lembata dan Adonara hanya dibatasi oleh batas air/water sheed.
Dalam buku itu diperlihatkan adanya perubahan waktu kemarau dan hujan dari waktu ke waktu, dengan kecendrungan semakin lama konsentrasi musim hujan kian singkat, tapi dengan konsentrasi air jatuh/tumpah semakin besar. Di samping itu, potensi badai, angin kencang, siklon kian mengancam pulau-pulau kecil ini, yang dulu-dulunya hanya beroperasi jauh dari di tengah samudera.
Karena itu, saya senang ketika tengah hari Rabu, tiba-tiba di halaman Homestay Cantik muncul Pak Darsono, pembudidaya rumput laut senior dari Desa Bana, bersama Pak Kasim, yang keduanya adalah pengurus Kelompok Onongtou, salah satu kelompok binaan Yayasan WWF Indonesia di Desa Bana, Kec. Pantar, Kab. Alor.
Kami pun duduk-duduk di beranda kantor WWF, ia mengenakan stelan kaos militer angkatan darat, dengan dengan topi yang ia pasang terbalik. Saya kembali memastikan kalender musim pembudidaya, yang saat-saat ini begitu sibuk, karena kata Darsono, sudah memasuki musim panen pertama. Orang-orang sedang semangat, karena selain rumput laut subur, minggu-minggu ini harga rumput laut juga kian baik, yaitu Rp. 30.000/kilogram kering.
Kasim memperlihatkan saya foto, halaman depan pesisir Desa Bana hijau oleh rumput laut, seperti pemandangan padang rumput di musim hujan. Sekitar 200 orang pembudidaya bermandi keringat sejak pagi hingga sore, dengan hanya jeda untuk beristirahat dan makan. Itu sudah berlangsung sejak Januari, dan puncaknya tentu di awal Maret ini.
“Jadi kita membibit rumput laut pada Desember-Januari, kemudian panen pertama pada Maret ini, sehingga masa pemeliharaan sekitar 2 bulan lebih. Kemudian panen kedua pada Mei-Juni yang hasilnya hanya sekitar 70% panen pertama. Setelahnya, hanya panen-panen kecil pada September-Oktober, itu pun hanya beberapa orang yang panen dengan hasil sekitar 25% dari panen pertama, kebanyakan hanya kegiatan mempertahankan bibit untuk persiapan masuk bulan desember,” Kata Darsono.
Boleh disebut kalau masa produktif hanya antara Januari-Mei ini, atau bagi pembudidaya di lokasi lain, yaitu Januari-April. Setelahnya, apalagi pada Juli-Agustus adalah hari-hari tanpa hujan. Masyarakat lokal menyebutnya ‘asam kering’, angin kencang dan laut terlihat putih.
Hal ini perlu saya tanyakan berkali-kali, sebab setiap informasi yang muncul sebaiknya diverifikasi yang nantinya dibuktikan lagi dengan observasi di lapangan. Apalagi saat ini kita membutuhkan informasi mengenai seberapa besar sebenarnya produksi rumput laut Kab. Alor, sementara informasi di Alor seperti ekor cicak, selalu saja tercecer ketika di tangkap.
Darsono dan Kasim juga bercerita banyak mengenai hama rumput laut, apalagi kami menginfokan kalau di Kangge dan Wolu sudah tidak ada rumput laut. Menurut mereka, selain ikan Baronang dan Ikan kulit pasir, hewan-hewan lain juga berpotensi menjadi hama, seperti bintang laut. Apalagi kawasan budidaya Pulau Kangge berdekatan dengan kawasan terumbu karang. “Rumput laut yang ditutupi oleh bintang laut akan menjadi putih keras, berbeda dengan putihnya yang disebabkan oleh ice-ice,” ungkap Darsono. Seperti apa itu putih keras? Sepertinya harus lihat sendiri terlebih dahulu. Selain itu, mereka juga melontarkan sebab lain yang bersifat mistis, adanya mantra yang diturunkan seseorang untuk mengundang ikan-ikan makan rumput laut. Alasannya, baru kali ini ikan-ikan makan hingga ke pinggir-pinggir pantai. Yah, percaya tidak percaya, di Alor masih kental dengan hal-hal tersebut.
Darsono menambahkan, menjelang musim penghujan, pada malam hingga subuh menjelang pagi, muncul kumang/kalomang yang bakalan menjadi hama bagi rumput laut. Tapi, pagi harinya kumang masuk ke dalam pasir. Meski begitu, ketika masuk musim penghujan, kumang sudah berkurang.
Terkait dengan adaptasi terhadap pergerakan arus dan gelombang, Darsono menetapkan bahwa panjang tali bentang pada tiap patok hanya 15 depa atau sekitar 22 meter, sebab jika terlalu panjang akan berpotensi melambai dan tidur di pasir jika parah akan tertutup pasir, atau bahkan dapat terlilit dengan tali bentang di sebelahnya.
Besoknya, pada Kamis, 9 Maret 2023, Darsono mengenakan kaos Forum Rumput Laut Alor (Forla), baju itu sudah terlihat tua, tapi Darsono berkeras untuk memakainya pada pertemuan mitra-mitra lingkungan di gedung Universitas Tribuana Kalabahi, untuk pembahasan kurikulum Centre of Excellence (CoE) Untrib bekerjasama dengan Yayasan WWF Indonesia.
Darsono secara sengaja menunjukkan rasa bangga terhadap keterlibatannya dalam Forla, yang dulunya diinisiasi oleh Swiss Contact, apalagi di forum itu hadir pula sekretaris Forla yang fenomenal, yaitu Emmy Maro. Ia tak akan bosan-bosan bercerita mengenai pengalamannya membantu adaptasi bibit sakol (Kappapychus striatum) di Desa Bana, bersama Bajir Sibu, Emmy, dan Ibu Ann (bibit tersebut didatangkan oleh Forla-Swiss Contact pada 2009 dari Pulau Nusa Penida, Bali), hingga sakol betul-betul diadopsi oleh kebanyakan pembudidaya rumput laut Alor. Juga dengan semangat yang sama bercerita tentang Arisan Sekolah Desa Bana. Sebagian dari hasil dari kegiatan budidaya rumput laut tujuh anggota arisan pada 2010 digunakan secara bergilir untuk membiayai anak-anak Bana yang akan melanjutkan sekolah tinggi/universitas di Kupang, Jawa, hingga Makassar. Juga pengalamannya pelatihan budidaya rumput laut di Maumere sekian tahun silam, hingga ia bisa membedakan rumput laut kering 35% dan rumput laut yg masih agak lembab.
Saat sesi perkenalan siang itu, Darsono menyebutkan prinsip hidupnya, yaitu jujur dan bekerja keras-komitmen, dia paling tidak suka dibohongi. Saya melihat, juga pada peserta-peserta lain, menunjukkan prinsip yang sama, yaitu sikap tulus mengabdi, jujur, komitmen, dengan sisi lain yaitu mudah tersinggung dan emosional jika mendapat perlakuan semena-mena. Saya berfikir, mungkin inilah pondasi utama yang menjadi patok-patok kesadaran orang-orang Alor terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayatinya.
Hanya saja, semangat menggebu itu, yang berasal dari tapak itu, haruslah didukung, agar kiprahnya tidak pupus hanya karena keterbatasan material. Di samping itu, pada perkiraannya, mereka saat-saat ini sedang menghadapi masa yang semakin tidak menentu jika dikaitkan dengan perubahan iklim.
Badai tropis dengan nama-nama cantik, seperti bunga seroja itu semakin mengintai. Mereka betul-betul dihantam badai Seroja pada April 2021. ‘Arus si bocah lelaki’ atau Corriente del nino, el nino kian panjang, yang berpengaruh pada perhitungan waktu bercocok tanam para petani, begitu halnya saudaranya yaitu La nina, si gadis kecil, iklim basah yang lebih merajuk dan memicu badai tropis.
Apa hubungannya dengan rumput laut? Saya menanyakan hal ini ke Pak Kasim, ia bilang, tumbuhan di laut sama saja dengan tumbuhan di darat. Jika tumbuhan di darat kekurangan air tawar, tumbuhan di laut pun begitu, kekurangan air hujan berpengaruh pada suhu air yang menghangat, yang tentu dapat mematikan rumput laut. Pada November lalu, saya mendengar dan menyaksikan sendiri, pengaruh dari air hangat terhadap pertumbuhan rumput laut, khususnya di pesisir Aimoli dan Pulau Lapang. Saya membayangkan, mungkin saja penyebab kurang produktifnya rumput laut pada 2016 hingga 2019 di pesisir-pesisir Alor-Pantar disebabkan oleh perubahan iklim ini…?
Apa yang harus dilakukan? Kita tak dapat melawan alam, kita hanya dapat beradaptasi terhadap perubahan alam. Kita bersama Pak Darsono, dan pembudidaya bahkan dengan nelayan-nelayan Alor, harus bisa beradaptasi terhadap kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, karena perubahan iklim ini.
Penulis adalah pemerhati lingkungan, tinggal di Alor