Wisata

He Untold Story Labengki

Oleh :Andi Syahrir

Udara siang di bawah terik yang menggigit seperti tidak terasa. Angin laut berhembus sepoi meredam panasnya pulau kecil itu. Ditambah hidangan laut dengan aktor utama puluhan ekor lobster siap santap.

Selasar rumah kepala desa itu seperti potongan surga. Panorama yang memanjakan mata sekaligus lidah. Lengkap sudah. Belasan orang yang duduk melingkar di meja makan tak henti berkelakar, berdiskusi, dan berbagi kisah dan cerita.

Tentang Labengki. Sebuah kawasan dengan gugusan pulau di wilayah Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Labengki menjadi saksi pergulatan satu diaspora umat manusia melestarikan eksistensinya.

Pulau Labengki kecil yang kini didiami sekitar 130 kepala keluarga itu, awalnya sebuah pulau kosong. Manusia-manusia laut yang kita kenal dengan Suku Bajo atau Bajau itu mendiami ceruk-ceruk karang di kawasan Pulau Labengki Besar.

Secara perlahan, mereka mulai bergeser ke darat. Berdiam di satu tempat. Membangun rumah di pantai. Menetap dan beranak pinak. Mereka pindah ke Pulau Labengki Kecil yang menawarkan sedikit kehidupan berciri darat, seperti tanah yang bisa dibanguni rumah permanen (baca: beton).

Kendatipun gugusan pulau Labengki didiami 98 persen etnis Bajo, penamaan Labengki bukan diserap dari bahasa mereka. Labengki diserap dari bahasa Tolaki, etnis utama yang mendiami kawasan Konawe Utara.

Labengki terdiri atas dua suku kata. Laa yang berarti tengah batang/gunung, dan Benggi yang artinya guci atau gumbang. Jadi seharusnya namanya Laa Benggi yang bermakna tengah guci atau perut guci. Ini disebabkan penampakan pulau ini menyerupai perut guci jika dilihat dari kejauhan. Lambat laun, nama Laa Benggi menyesuaikan lidah orang-orang dan berangsur berubah menjadi Labengki.

Nama Labengki Kecil, yang merujuk pada pulau yang ukurannya lebih kecil dan kini didiami manusia, sesungguhnya untuk memudahkan identifikasi semata dari Pulau Labengki Besar, yang tak berpenghuni. Labengki Kecil punya nama tersendiri yakni Pulau Kusino, dari bahasa Tolaki yang berarti kancing.

Saat ini, sebuah komunitas kepariwisataan di Labengki, yang secara formil kita kenal dengan kelompok sadar wisata (pokdarwis), menamakan diri Pokdarwis Singgapore. Yah, penulisannya seperti itu: s-i-n-g-g-a-p-o-r-e.

Singgapore diserap dari bahasa Bajo, Singga yang berarti datang, dan Pore yang berarti Pergi. Singgapore artinya datang dan pergi. Atau bisa diterjemahkan tempat singgah sementara.

Merujuk pada penamaan negara tetangga Singapura, ada dugaan bahwa nama negeri itu memang diadopsi dari bahasa Bajo, karena Singapura an sich merupakan sebuah tempat persinggahan.

Sebuah situs yang meemperkenalkan Singapura, visitsingapore.com, menyebutkan tidak ada catatan yang dapat dipastikan keabsahannya mengenai sejarah awal Singapura. Satu sumber dari Tionghoa pada abad ketiga menyebutnya sebagai “Pu-luo-chung”, yang merujuk “Pulau Ujong” yang berarti “pulau di ujung semenanjung” dalam bahasa Melayu.

Kemudian, kota ini disebut sebagai Temasek (Kota Laut), ketika pemukiman pertama didirikan pada tahun 1298-1299 sesudah masehi. Pada abad ke-14, Singapura mendapatkan julukan baru.

Menurut legenda, Sang Nila Utama, seorang Pangeran dari Palembang (ibu kota kerajaan Sriwijaya), sedang berburu ketika ia melihat seekor hewan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Menganggap ini pertanda yang bagus, sang pangeran kemudian mendirikan kota di mana hewan itu ditemukan, dan menamainya Kota Singa atau Singapura, yang diambil dari bahasa Sansekerta “simha” (singa) dan “pura” (kota). Nama ini yang kemudian populer dan menjadi ikon kota, berupa patung singa.

Soal kata Singgapore dalam bahasa Bajo yang merujuk pada Singapura, bukan mustahil hal itu memiliki kebenaran, dan menambah kekayaan legenda dan kisah-kisah mengenai negeri ini. Mengingat kekhasan etnis Bajo dimanapun berada, yakni kesamaan bahasa. Di negara manapun etnis Bajo berdiam, bahasa mereka tetap sama.

Ini menginspirasi Pemerintah Kabupaten Wakatobi menggelar Festival Internasional Suku Bajo pada tahun 2013 silam, yang dihadiri perwakilan etnis Bajo dari beberapa negara seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Tiongkok.

Kesamaan bahasa Bajo sedunia ini juga mengilhami Pemerintah Kabupaten Konawe Utara untuk menggagas Konferensi Internasional Suku Bajo yang rencananya dijadwalkan berlangsung tahun depan.

Labengki pada akhirnya bukan hanya tujuan perjalanan. Labengki adalah sebuah kisah. Cerita tentang manusia-manusia laut di muka bumi, serta kisah interaksinya dengan mereka yang mendiami daratan.

Benar kata John Muir, penulis buku-buku petualangan, berkebangsaan Skotlandia kelahiran Amerika Serikat, bahwa dalam setiap perjalanan dengan alam, seseorang menerima jauh lebih banyak daripada yang dia cari.

Bertualang ke Labengki bukan sekadar menjumpai keindahan alamnya. Tapi lebih dari itu, menemukan kisah-kisah, yang mempertautkan kita –umat manusia.*

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button