Piala Dunia U-20 Gagal Karena Intervensi Politik
SEPAK bola dan politik semestinya berada dalam lapangan yang terpisah. Janganlah dipersatukan. Sepak bola harus steril dari politik dan intervensi kekuasaan. Begitu pun politik, jangan mendompleng panggung besar nan mentereng dunia sepak bola. Namun, realitasnya selalu jauh dari ideal. Politik kerap mengintervensi sepak bola dan menjadikannya ajang pertaruhan bagi berbagai kelompok kepentingan.
Akibatnya, urusan sepak bola selalu runyam ketika berkelindan dengan politik. Seperti nasib gelaran Piala Dunia U-20 yang bakal dihelat di Indonesia tahun ini, kini terancam gagal karena intervensi politik. Musababnya, sejumlah daerah yang ditunjuk sebagai tempat pertandingan menolak kedatangan tim Israel.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan penolakannya terhadap keikutsertaan Israel. Alasannya, untuk meneguhkan komitmen Presiden pertama RI Soekarno dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Penolakan terhadap Israel juga disampaikan kader PDI Perjuangan lainnya yang kini menjabat Gubernur Bali, I Wayan Koster. Selain menjadi kota penyelenggara pertandingan, Bali sedianya juga menjadi tempat pengundian Piala Dunia U-20 pada Jumat, 31 Maret nanti.
Penolakan ini langsung menuai pro dan kontra. Banyak pihak menolak kehadiran Israel karena kejahatan perangnya di Palestina, serupa dengan Rusia yang didiskualifikasi oleh FIFA dari Kualifikasi Piala Dunia 2022 Qatar lalu. Di lain pihak, gencarnya penolakan terhadap Israel belakangan ini dinilai sebagai sikap yang terlambat dan cenderung punya tendensi politik.
Sikap yang terkait erat dengan agenda kontestasi demokrasi di dalam negeri, Pemilu 2024. Israel sejatinya lolos ke Piala Dunia U-20 pada akhir Juni 2022. Akan tetapi, penolakan di Indonesia baru santer pada Maret ini atau berselang hampir satu tahun. Penolakan itu pun langsung direspons FIFA dengan membatalkan agenda drawing di Bali. Bagi FIFA, penolakan terhadap tim Israel sama dengan membatalkan garansi penyelenggaraan yang telah dikeluarkan Pemerintah Provinsi Bali. Sikap FIFA ini dimaknai sebagai sinyal ketidakpastian nasib gelaran Piala Dunia U-20 di Indonesia pada 20 Mei-11 Juni.
Bahkan, PSSI khawatir dampaknya tidak hanya sampai pada pembatalan perhelatan itu di Tanah Air, tetapi juga pengucilan sepak bola Indonesia di level internasional. Jika PSSI dibekukan FIFA, kegiatan yang berhubungan dengan kalender FIFA tidak bisa diikuti Indonesia. Potensi kehilangan perputaran ekonomi hampir Rp10 triliun. Persoalan pelik ini harus segera dicarikan jalan keluarnya. Ketua Umum PSSI Erick Thohir dituntut bergerak cepat untuk mencarikan solusi maupun lokasi alternatif.
Tidak hanya kepada para pemangku kepentingan di dalam negeri, Erick harus pula meyakinkan dan membujuk FIFA bahwa keikutsertaan Israel mampu dijamin di negeri ini. Momen ini sekaligus bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk memberikan contoh bagaimana semestinya sepak bola steril dari politik. Contoh yang bahkan tidak bisa diberikan oleh FIFA sekalipun, salah satunya ketika mereka mencoret Rusia dari kualifikasi Piala Dunia gegara menginvasi Ukraina. Sebagai Ketua Panitia Lokal Piala Dunia U-20, Erick didesak mampu menjamin dukungan pemerintah.
Demikian juga soal penerimaan publik dan keamanan peserta, termasuk Israel di dalamnya. Pencinta sepak bola Tanah Air menuntut pengurus PSSI yang belum seumur jagung terbentuk ini mampu menjalankan estafet agenda Piala Dunia U-20. Jangan ada kata gagal bagi Piala Dunia U-20 yang tinggal 54 hari lagi bergulir. Jika gagal, jika FIFA menarik kepercayaan kepada Indonesia sebagai tuan rumah, itulah awal dari bencana besar bagi persepakbolaan nasional. (**)