Setahun lalu, 1 April 2022, sebuah tindakan telah diambil dan menjadi keputusan: berhenti sbg bankir. Berhenti sebagai buruh pada bank yang berfokus pada pembiayaan ekspor. Bank yang seratus persen kepemilikannya dipegang pemerintah. Bank yang nasabahnya hanya sekitar lima ratusan. Bank yang nilai asetnya terbilang ratus triliun rupiah. Bank yang kantornya mentereng di kawasan SCBD. Bank yang gedungnya membentuk skyline langit Jakarta.
Dua bulan sebelumnya surat pengunduran diri telah dilayangkan, karena syarat formal korporasinya memanglah demikian. Tempo dua bulan yang dipersyaratkan menandakan bahwa tidak mudah mencari profesional yang cocok. Tapi juga tidak mudah untuk duduk di kursi itu jika tak punya keterampilan, pengalaman, atau network. Dalam hitungan beberapa bulan sejak kursi itu telah ditinggalkan, tidak ada yang dipandang pas atau tepat. Bulan ketujuh, ada yang dicoba, tetapi dalam hitungan bulan ia tanggal.
Dua tahun bekerja di tempat itu, di kawasan yang dipandang paling elite di Jakarta, adalah pengalaman yang membekas dan lekat sepanjang hayat. Bekerja di tengah pandemi. Bekerja dari rumah. Bekerja kadang di rumah kadang di kantor. Bekerja dengan sesekali dalam sebulan harus melakukan trip ke luar kota.
Keputusan untuk meninggalkan dunia kerja dengan lingkungan seperti itu bukanlah keputusan mandiri. Ada tugas, tanggung jawab, permintaan, juga harapan dari pihak lain yang memengaruhi. Namun keputusan diambil dengan senang hati.
“Kualitas manusia adalah kualitas suatu keputusan.” Demikian kata-kata bijak direnda. Apa maksud kata-kata itu?
Kualitas hidup manusia, pada hakikatnya ditentukan pada kualitas keputusan yang diambilnya. Keputusan untuk belok kekiri –tidak ke kanan; keputusan untuk bangun jam lima –bukan jam enam; Keputusan untuk bertemu dengan si A –dan tidak dengan si B; Keputusan untuk menggarap tugas X lebih dulu –dan bukan tugas Y; dan keputusan-keputusan lainnya, menentukan kualitas hidup dan kualitas dirinya.
Begitulah kira-kira maksud kata-kata bijak itu.
Bagaimana kita tahu bahwa kualitas keputusan yang diambil adalah keputusan yang benar? Dalam situasi itu, tidak ada benar salah. Pertama tergantung dari konteks. Apa konteks dari keputusan itu diambil? Apakah lari dari masalah? Apakah mencari tantangan yang lebih besar? Apakah mencari penghasilan yang lebih baik? Semua tergantung dari konteks dan tujuan dari pengambilan keputusan.
Kedua tergantung dari lingkungan yang memengaruhi. Siapa saja dan apa saja yang berpengaruh di dalam pengambilan keputusan? Keluarga? Anak istri? Teman sekerja? Teman gaul? Apa saja yang membuat suatu keputusan diambil? Waktu yang tepat? Tawaran yang datang?
Setelah setahun keputusan diambil, sekarang tibalah mengevaluasi dan menilai, tepatkah keputusan tersebut? Ingat, tidak ada benar salah! Salah satu tolok ukur bahwa keputusan tersebut tepat, adalah hidupmu berubah. Cara bekerjamu berubah. Cara berpikirmu berubah. Cara bekerjamu berubah. Dan dengan demikian, kualitas hidupmu juga berubah.
Apakah kamu menemukan dirimu yang berbeda dibandingkan setahun lalu? Apakah kamu merasakan perubahan atau peningkatan kualitas dirimu? Apakah kamu menemukan perbaikan cara kerjamu, cara pandangmu?
Yang jauh lebih penting dari sekadar perubahan atau perbaikan ini dan itu, teknik ini dan teknik itu, tentu saja adalah apakah keputusan tersebut telah meningkatkan kadar kebahagiaanmu?
Kamu tentu akan bertanya, ukuran kebahagiaan itu sangat relatif. Sangat abstrak. Itu betul….! Tapi ukuran kebahagiaan juga dapat ditandai dengan suatu sense, rasa, feeling yang berhubungan dengan waktu.
“Tempora mutantur et nos mutamur in illis” kata pepatah Latin. Waktu berubah dan kita pun berubah seiring dengannya.
Apakah kamu merasa waktu setahun itu berlari begitu cepat? Jika ya, itu artinya lebih banyak senengnya ketimbang sedihnya. Apakah kamu merasa waktu setahun lalu seperti kemarin? Jika ya, itu bisa menjadi ukuran. Maka, ada pepatah lain yang lebih ringkas: Tempus fugit. Waktu berlari.
Maka, jika hidup adalah soal mengambil keputusan belaka, orang-orang hebat adalah orang yang mengambil keputusan yang cepat lagi tepat. Semakin cepat sekaligus tepat, semakin hebatlah si manusia itu. Bagaimana dengan orang yang merasa tak pernah mengambil keputusan? Tidak mengambil keputusan adalah keputusan itu sendiri. Tempus fugit, waktu berlari, dan dia diam tak bergerak alias mati.
Penulis Pernah bekerja sebagai Advisor di Kantor Staf Presiden Republik Indonesia