Mengenal Sosok : Ester Indahyani Jusuf, “Saya Tak Akan Berpaling”
Penulis : Yulia Atnanti

ESTER Indahyani Jusuf atau Siem Ai Ling ialah seorang aktivis hak asasi manusia yang aktif dalam perjuangan dan penegakan HAM di Indonesia pada masa reformasi (1996-1998). Bersama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, ia lantang menyuarakan gerakan antidiskriminasi dan antirasisme yang tak hanya terbatas terhadap etnik Tionghoa.
Demi keseriusannya, pada 5 Juni 1998, Ester berinisiatif mendirikan sebuah Yayasan Solidaritas Nusa Bangsa (SNB). Bersama rekan-rekannya di yayasan itu ia menyosialisasikan ide tentang Undang-Undang Anti Diskriminasi Ras dan Etnis yang kelak disahkan di masa pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2008.
Menjadi bintang tamu dalam acara Kick Andy Show, episode ‘Kami Juga Indonesia’, Ester mengungkapkan ia melihat saat ini sudah banyak perbaikan tentang kesetaraan etnik ketimbang sebelum reformasi.
“Terutama di level orang-orang yang sudah bisa mengakses literatur, itu berbeda sekali cara berpikirnya. Mereka lebih berhati-hati dengan ucapan dan tindakannya, karena mereka paham begitu mereka mendiskriminasi seseorang itu ada aturan hukumnya, dan dia bisa langsung bisa kena pasal,” ungkap perempuan kelahiran Malang, 1971.
“Prasangka tetap ada, tapi pada saat ada interaksi dan literasi masuk, tentu ada pergeseran paradigma, dan semua kan butuh proses,” imbuh perempuan peraih Yap Thiam Hien Award tahun 2001 itu.
Mula-mula mereka mengadvokasi kasus rasial yang terjadi di banyak wilayah di Indonesia. Namun seiring kesadaran warga yang semakin tinggi, dan setelah banyak peraturan dan kebijakan rasial dicabut oleh negara, mereka berfokus pada upaya penyadaran soal persamaan hak dan kewajiban. Bahwa manusia dilahirkan mempunyai hak dan kewajiban yang sama di muka hukum. “Pendidikan menjadi jalan masuk kami untuk membangun kesadaran itu,” kata Ester.
Belakangan mereka mendirikan Yayasan Rebung Cendani untuk membantu anak menemukan jati dirinya sebagai manusia merdeka. Mereka memberikan pendampingan pada tingkat pendidikan dasar yang berwawasan lingkungan hidup dan berangkat dari hak-hak anak seperti tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA).
Sanggar yang berlokasi di pinggiran kota Depok, Jawa Barat itu memberikan pendampingan pada komunitas anak dan remaja melalui Taman Bacaan Masyarakat Cendani (TBMC), Pendidikan Lingkungan Hidup berbasis konservasi, pendidikan Multi Kultural, Media Anak (Koran Anak) dan pendampingan masyarakat melalui diskusi warga. Ester menjadi direktur pelaksana sanggar ini.
Ibu tiga orang anak ini menampik semua yang ia lakukan ini luar biasa. Menurutnya, banyak yang melakukan jauh lebih berani dan lebih besar darinya. “Namun karena Tuhan mau angkat saya, maka saya ada di posisi saya sekarang. Dan itu mesti saya gunakan maksimal untuk kemuliaan Tuhan. Jalan Tuhan sungguh tak terselami,” katanya.
“Selama ini banyak media yang menulis berlebihan tentang saya. Padahal kalau bertemu ya, saya ini biasa saja, he-he-he,” ujar Ester ketawa, suatu pagi awal Mei lalu. Berikut ini percakapannya dengan
Apakah gerakan antirasialisme dan antidiskriminasi yang Anda gelorakan hanya terkait etnis Tionghoa saja?
Tidak. Bahwa awal mula gerakan kami dilatari oleh peristiwa 1998, iya. Tapi kami tidak hanya terkait etnis Tionghoa. Sebab etnis mayoritas pun mengalami diskriminasi di negeri ini. Memang kalau ada kasus yang terkait etnis Tionghoa akan mendapat perhatian secara nasional. Padahal apa yang dialami etnis Betawi di Jakarta, Papua dan Madura di Kalimantan, diskriminasi juga. Tapi sekarang saya lebih concern pada anak-anak.
Secara umum bagaimana Anda menilai kondisi penegakan HAM di Indonesia saat ini?
Penegakan HAM masih amat bergantung pada kekuatan dan tawar-menawar politik dari para pemegang kekuasaan. Pelanggaran HAM masa lalu atau masa sekarang masih jauh dari harapan untuk bisa diselesaikan.
Pelanggaran HAM berat seperti Tragedi Kemanusiaan Mei 1998 saja berkas perkara berhenti di Kejaksaan Agung sejak tahun 2003 sampai sekarang. Yang ada hanya perdebatan hukum tentang hal-hal yang tidak prinsip, prosedural. Esensi perdebatan hanyalah upaya perlindungan terhadap pihak-pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban terhadap kejahatan berat itu. Perkara pelanggaran HAM berat tahun 1965 jauh lebih berat upaya penyelesaiannya, baik secara sosial, hukum maupun politik.
Saran saya, selama keadilan maksimal belum bisa diberikan pada para korban, negara dapat memberi prioritas penanganan nasib mereka, misal pemulihan hak-hak mereka, ganti rugi dan rehabilitasi. Langkah ini adalah bagian dari itikad baik untuk menyembuhkan luka para korban.
Bagaimana Anda menilai korban pelanggaran HAM yang justru melemahkan upaya penegakan HAM?
Ini memang fenomena yang tidak diharapkan. Tetapi, itulah realita. Orang yang semula menjadi korban pelanggaran HAM begitu mudah menukar idealismenya hanya karena uang atau kesempatan.
Saya tak ingin menghakimi mereka. Tetapi, tindakan mereka itu merugikan penegakan HAM secara umum. Pandangan pada HAM atau kemanusiaan menjadi demikian rendahnya. Ini tantangan untuk mereka yang terus berteriak soal penegakan HAM. Apalagi, tak ada jaminan apa-apa untuk mereka yang terus memperjuangkan penegakan HAM.
Apa yang mendorong Anda terus menggeluti bidang ini?
Kalau hukum dan HAM secara umum memang tak ada hal yang khusus. Pada saat lulus SMA, papa dan seorang pendeta meminta saya masuk fakultas hukum sehingga suatu saat saya bisa membela orang-orang lemah. Bagi saya sederhana saja; jika Tuhan izinkan, saya mau masuk fakultas hukum yang baik dan tidak menyuap orang. Ya, seperti jalan di karpet merah, Tuhan memberikan jalan itu. Sampai sekarang secara organisasi semua berjalan dengan baik.
Jadi, tidak ada peristiwa khusus?
Tidak ada peristiwa khusus, tetapi dengan banyak mengalami peristiwa membuat saya tak mungkin mundur lagi. Dulu, kadang kala ingin mundur, ingin berhenti. Lelah juga. Tetapi, mengingat para korban, ya mau mundur bagaimana caranya? Siapa yang mau membantu mereka?
Ketika saya lelah, saya ingat wajah korban pelanggaran HAM. Saya berjanji agar keadilan terungkap. Tetapi janji kan bisa diingkari. Akan tetapi, setelah berjalan dan bertemu ribuan korban, bagaimana mundurnya? Tidak mungkin. Kita sudah melihat ribuan korban ketidakadilan. Siapa yang mau menyentuh mereka? Jika negara peduli dan masyarakat mendukungnya, mungkin saatnya saya mundur. Masalahnya selesai.
Mengapa Anda memilih penegakan HAM?
Tuhan membuka mata saya untuk melihat banyak ketidakadilan dan pelanggaran hukum dan HAM, termasuk melihat banyak aturan dan kebijakan hukum yang tidak adil. Apa yang saya lakukan adalah pertanggungjawaban iman dan respons atas cinta Tuhan. Saya percaya Tuhan memimpin tiap langkah hidup saya. Tuhan amat cinta dan baik pada saya. Dan ini yang membuat saya tidak akan berpaling sedikit pun.
Pernahkah Anda mendapat ancaman-ancaman karena kegiatan ini?
Ancaman bukan hal yang penting untuk jadi fokus pemikiran. Saya memilih fokus pada pekerjaan.
Bagaimana cara gereja atau lembaga Kristen lainnya dapat berperan dalam penegakan HAM?
Kita selama ini baru sebatas melayani “diri sendiri”. Diri sendiri maksud saya adalah jemaat sendiri. Para pimpinan gereja atau lembaga Kristen harus mendorong jemaat keluar untuk hidup kudus, menjadi garam dan terang, masuk seperti tanaman sesawi yang tumbuh mengakar dalam struktur masyarakat dalam segala bidang, terutama ekonomi dan pendidikan. Ada gereja yang sudah melakukannya, tetapi masih banyak yang apatis.
Apa arti menjadi orang Kristen bagi Anda?
Menjadi orang Kristen adalah menerima anugerah Tuhan dan hidup dalam iman.
Bagaimana Anda menjalani hari-hari bersama keluarga?
Saya dan anak-anak belajar bersama untuk hidup benar dan bertanggung jawab pada Tuhan. Kami tahu ini tidak mudah tapi itu adalah pilihan.
BIODATA
Ester Indahyani Jusuf (Sim Ai Ling)
- Tempat/Tanggal Lahir : Malang, 15 Januari 1971
- Gereja : Gereja Reformed Injili Indonesia
Pendidikan
- 1990-1996 : Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Aktivitas:
- 1995-1998 : Pembela Umum Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
- 1998- sekarang : Ketua Pengurus Solidaritas Nusa Bangsa (SNB)
- 1998- sekarang : Pembicara untuk berbagai forum dan diskusi antidiskriminasi rasial, baik nasional maupun international
- 2002-2003: Pendiri dan pengurus Yayasan Kasut Perdamaian, Pendiri dan Pengurus Lembaga Kajian Masalah Kebangsaan (elkasa), Sekretaris Tim Ad Hoc Komnas HAM untuk Kasus Kerusuhan Mei 1998, Fellow Ashoka Foundation
- 2005-sekarang : Anggota Dewan Etik Asosiasi Penasihat Hukum dan Pembela HAM Indonesia, Pengurus Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia.
- 2008- sekarang : Gunawan, Ester, Hotma and Partners
- 2009-sekarang : Wakil Pimred Majalah Sinergi Indonesia, Redaksi Majalah Suara Baru, Pendiri Info Praktis(Web pendidikan hukum awam)
- 2011- sekarang: Direktur Pelaksana Yayasan Rebung Cendeni
Penghargaan
- 1999 : Forum of Human Rights
- 2000: Majalah MATRA
- 2001: Yap Thiam Hien
- 2003 : Ashoka Foundation
- 2008 : Elham