Opini

Darurat Pendidikan Politik bagi Pemilih Muda

Penulis: Ester Indahyani Yusuf (Aktivis HAM)

PEMILIH muda sesuai Undang-Undang Nomor 40 tahun 2009 adalah mereka yang berusia 16-30 tahun. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (BPS) jumlah pemilih muda sekitar  65,82 juta.

Penelitian lain menyebutkan pemilih muda mencapai 117 juta dari sekitar 57,3 persen dari total pemilih. Ini artinya dalam Pemilu 2024, pemilih muda menjadi mayoritas pemegang hak suara, dan bisa menjadi penentu siapa yang bakal memimpin dan mewakili rakyat.

Jika benar sekarang adalah era kaum muda, maka secara teori ini adalah masa terbaik dalam sejarah politik kita. Pemuda dianggap sebagai agen perubahan, agen pembangunan, dan agen pembaruan.

Namun bagaimana realitasnya? Menurut saya banyak pemuda kita memilih tunduk, atau ditundukkan, bahkan dengan kemunafikan diam-diam mengamini dan memperkuat status quo.

Mereka permisif dengan nilai-nilai kebobrokan, korupsi, intoleransi, individualis, hingga dehumanisasi. Jauh dari cita-cita para pendiri bangsa, jauh dari nilai-nilai Pancasila.

Sebagai gambaran profil pemuda kita dalam dunia pekerjaan menurut BPS, sekitar 8,85 persen diisi tenaga profesional, teknisi, dan tenaga lain. Kemudian hanya 0,69 persen menjadi tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan. Sisanya posisi yang tidak membutuhkan pendidikan tinggi.

Selanjutnya dalam dunia pendidikan, hanya sekitar 10,61 persen telah menyelesaikan studi hingga perguruan tinggi. Sisanya 89,39 persen berpendidikan SMA/sederajat atau lebih rendah atau setara 58 juta pemuda.

Memang pendidikan bukan penentu orang menjadi kritis atau cerdas berpolitik. Namun pendidikan yang rendah mengindikasikan keterbatasan wawasan, daya analisis, dan kemampuan berperilaku.

Selain itu proses akademik kerap digunakan sebatas untuk mencapai gelar kesarjanaan, master atau doktor. Begitu selesai tidak lagi atau jarang membaca buku, apalagi melatih daya berpikir kritis.

Pada 2021 ada 95,57 persen  pemuda menggunakan telepon pintar. Hampir di saat bersamaan pemuda kita mendapat 700 juta serangan siber pada 2022, dengan modus dominan berupa pemerasan.

Selain serangan siber dan hoaks juga ada pelintiran, provokasi, dan agitasi politik yang bertahun-tahun ditanamkan kepada mereka oleh berbagai pihak. Tidak heran jika keseharian pemuda kita hanya tawuran, klitih, persekusi, ketergantungan narkoba, nomophobia, kecanduan gim online berikut penyerapan nilai kekerasan, atau seksualitas yang tidak wajar dan isme-isme lainnya.

Ini sejalan dengan gambaran di bidang kesehatan masyarakat. Sesuai data Riskesdas pada 2018 ada 19 juta orang mengalami gangguan kesehatan mental dan sebagian besar kaum muda.

Dalam situasi darurat seperti ini sosialisasi dan pendidikan politik tampaknya harus digencarkan, bukan hanya di level perkotaan, media sosial atau seminar di hotel dan ruang berpendingan. Namun harus menjangkau mayoritas pemuda dengan keterbatasan ekonomi, wawasan, dan pendidikan (**)

 

**Tulisan atau artikel opini yang dipublikasikan tidak mencerminkan pandangan redaksi. Hak cipta dan pertanggungjawaban dari tulisan, berita, atau artikel yang dikutip dari media lain atau ditulis sendiri sepenuhnya dipegang penulis.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button