Sosok & Tokoh

Rachmadin Ismail : Menjadikan Jurnalisme sebagai Gaya Hidup

Ngobrol dengan profesional yang sudah berkarier di industri media belasan tahun memang enggak kaleng-kaleng. Ada banyak insight menarik yang bisa kita dapatkan. Perbandingan antara pergerakan media dulu dan sekarang. Plus-minusnya, serta bagaimana menyiasati supaya media online konvensional tidak tertinggal dengan media-media baru seperti podcast, Youtube dan teman-temannya.

Adalah Rachmadin Ismail yang menjadi teman ngobrol bssn.  Saat ini Madin–begitu ia biasa disapa–menjabat sebagai Editor in Chief Tirto ID setelah sebelumnya menjadi Editor in Chief di Hello Sehat. Seperti apa Madin memaknai perjalanan kariernya dan jurnalisme era sekarang. Apakah jurnalisme akan mati seiring dengan digitalisasi dan kemunculan media-media baru? Jawabannya tidak. Justru, menurut ex-Deputy Editor in Chief Kumparan ini, tidak ada perusahaan sekarang yang tidak membutuhkan “jurnalisme”.

“Semua perusahaan sekarang pasti butuh storyteller. Butuh campaign manager. Jurnalisme adalah awal dari itu,” papar Madin. Penasaran apa saja pencerahan dari Madin? Baca selengkapnya di sini!

Apa perbedaan yang paling signifikan antara menjadi editor in chief di portal kesehatan dan portal berita umum? 

Perbedaan paling signifikan adalah tentang fokus dan hal-hal yang harus dipelajari. Kalau di media kesehatan, tentu saja harus belajar kesehatan secara konten, membangun jejaring dengan komunitas kesehatan dan belajar distribusi konten kesehatan yang fokusnya lebih condong ke search engine. Lebih sempit coverage-nya, tapi untungnya bisa belajar secara mendalam.  Kalau di media umum, coverage-nya lebih lebar dan luas, tapi ndak terlalu dalem. Walaupun akhirnya aku harus menentukan juga fokusnya di mana. Contohnya di tirto, kita memutuskan untuk jadi media yang fokus di fact checking. Supaya bisa memiliki keunikan tersendiri di market dengan informasi yang kita tawarkan.

Apa yang menjadi fokus utama Anda saat memimpin tim editorial di setiap portal yang Anda pimpin?

Fokus utama adalah belajar sudah tentu. Belajar mengenal orang-orangnya dulu biasanya sebagai awal. Aku punya ritual one on one dengan semua orang biasanya kalau masuk kantor baru. Dengerin apa yang mereka kerjakan, harapannya, lalu bagaimana aku bisa bantu. Setelah belajar tentang orang, aku belajar tentang kultur dan DNA si media tersebut. Baru habis itu belajar ke luar, melihat competitive market-nya, perbandingan kita dengan media lain, bikin survei persepsi, dll. Setelah itu, baru deh membuat plan berdasarkan kombinasi dari kemampuan tim, karakter/kultur si media itu, plus opportunity yang ada di luar. Intinya, gimana caranya biar kita bisa compete dengan resources yang ada, dengan keunikan kita sendiri. Kira-kira begitu. Agak berat memang, tapi itu menurutku jalan ideal, dibandingkan memaksa apa yang di kepala kita untuk langsung dijalankan oleh tim.

Kriteria apa yang Anda gunakan dalam memilih artikel yang akan dipublikasikan? Bagaimana Anda memastikan akurasi dan objektivitas artikel?

Kriterianya mengacu kepada banyak hal sebenarnya, tapi yang utama pada nilai kebermanfaatan, kalangan yang perlu kita bantu atau advokasi, dan terkadang kecocokan antara berita dengan target pembaca yang akan kita layani. Karena kami hanya terbatas orangnya, jadi harus ada fokus audiens. Misal, kami punya program diajeng, fokusnya saat ini adalah untuk memberdayakan perempuan yang bekerja di rumah maupun di kantor dan pemilik UMKM. Jadi pemilihan tema diprioritaskan dulu untuk itu. Setelahnya, kami akan fokus ke kelompok perempuan lain seperti disabilitas misalnya.

Untuk menjaga akurasi, menggunakan formula umum yang berlaku di dunia jurnalistik saja. Pedoman cover both side, lalu 5W1H, serta memahami panduan etika yang berlaku. Hanya saja, saya sekarang lebih banyak fokus untuk mengisi jiwa si penulis dengan rasa. Selalu meminta untuk menambahkan gambaran suasana, emosi yang terlihat, mendetailkan hal-hal yang memang penting dalam sebuah peristiwa atau laporan, termasuk data. Dan yang paling penting, selalu berorientasi pada kebutuhan user. Selalu memposisikan diri apakah sudah cukup puas dengan artikel tersebut, kalau masih ada pertanyaan yang mengganjal sebagai pembaca, berarti risetnya kurang kuat atau wawancaranya kurang tajam.

Siapa sosok yang paling menginspirasi Anda dalam dunia jurnalisme? Mengapa?

Tidak banyak sebenarnya. Dalam kepala saya, hanya terlintas idola itu adalah Mas Yusuf Arifin atau biasa disapa Mas Dalipin. Saya pernah kerja dua kali sama beliau. Beliau adalah orang yang keras kepala saat membaca, tapi sangat rendah hati ketika bicara. Tulisan dia selalu mengena. Sampai sekarang.

Apa momen paling membanggakan dalam karier Anda sebagai editor in chief?

Momen saat bisa melihat orang-orang di sekitar kita tumbuh. Awalnya jadi anak magang, lalu jadi reporter, lama-lama jadi editor, dan seterusnya. Saat orang orang di sekitar saya bertumbuh, saya juga ikut tumbuh.

Bagaimana Anda melihat perkembangan industri media online di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir?

Banyak orang menilai industri media online sedang tidak baik-baik saja. Parameter yang digunakan adalah bisnis. Karena banyak media yang tutup atau PHK, itu indikator utama dalam menilai kinerja sebuah media. Padahal, sebenarnya secara kualitas produk jurnalistik, arahnya cenderung membaik. Mulai banyak media kredibel dan berpikir soal kualitas konten yang bermunculan. Ada yang berbasis gender, ada yang berbasis investigasi, ada yang berbasis data, dan lainnya. PR utamanya adalah sekarang bagaimana kita membuat bisnis modelnya yang stabil, tanpa menurunkan kualitas konten. Ada banyak pilihan sekarang ini. Tapi kuncinya, selama media itu mau berinovasi dan terus belajar, harusnya baik baik saja.

Menurut Anda, apa dampak dari maraknya platform media baru seperti podcast, YouTube, dan media sosial terhadap industri media online tradisional?

Dampaknya secara bisnis tentu saja mereka akan mengurangi kue iklan yang dulu hanya dinikmati oleh media online. Secara spesifik, budget iklan marketing terutama. Secara kualitas konten, standarnya jadi berkurang. Wawancara jadi tidak perlu cover both side. Promosi jadi bisa seenaknya. Bisa ngomong kasar saat menyampaikan informasi. Ada yang boleh merokok dll.

Tapi walau begitu, banyak yang bisa dipelajari dari fenomena media-media baru ini. Mulai dari target audiens segmentation yang lebih spesifik, pendekatan yang lebih rileks dalam penyampaian informasi, personal branding, belajar data analitik dan algoritma, sampai bagaimana membuat campaign yang full funnel dari mulai awareness sampai conversion. Di media online tradisional, campaign-nya hanya fokus pada awareness, tapi di media baru itu mungkin bisa conversion. Intinya ya harus belajar juga. Jangan ngeluh aja ceruk iklannya direbut, tapi tidak berbuat apa-apa untuk bersaing.

Bagaimana portal berita bisa tetap relevan di tengah persaingan dengan platform-platform tersebut?

Itu tadi, belajar lebih dalam soal digital marketing. Terutama untuk bisnisnya. Kita harus mulai mengadopsi sistem audience segmentation. Membuat KOL di internal media itu sendiri. Belajar memahami data analitik pembaca lebih tajam. Tanpa mengorbankan etika jurnalistik. Harapannya adalah kita bisa bersaing sama mereka dengan sehat dan beretika. Aku yakin, akan ada momen bandulnya bergeser dari marketing yang basisnya entertainment, ke marketing yang basisnya edukasi dan kredibilitas pada suatu hari nanti. Di situlah mungkin media berita akan bisa mendapatkan kembali peluangnya.

Tantangan terbesar apa yang dihadapi oleh portal berita saat ini? Bagaimana cara menghadapinya?

Tantangan untuk mau belajar. Kita sudah dimanjakan bertahun tahun ke belakang, sebagai satu-satunya wadah promosi. Kita sejak dulu memonopoli saluran informasi ke publik. Sehingga kita terbiasa mendominasi. Sekarang kan sudah ndak lagi. Semua orang bisa jadi pembuat informasi. Jadi kita harus berubah dan berbenah. Kalau saya berpikir, media harus jadi kurator informasi. Pemilah milah mana yang benar dan salah dari informasi yang beredar di masyarakat.

Peluang apa yang bisa dimanfaatkan oleh portal berita untuk tetap bertahan dan berkembang?

Itu tadi. Dengan menjadi kurator informasi, kita akan tetap punya audiens loyal. Pengiklan juga mungkin kalau jadi korban misinformasi, akan butuh bantuan media untuk meluruskannya. Sudah banyak orang iklan di tirto sekarang untuk mengklarifikasi informasi salah di masyarakat. Saya rasa peluangnya di sana.

Bagaimana menurut Anda masa depan industri media online di Indonesia?

Masih cerah dan ada selama kita mau belajar dan berinovasi. Memperbaiki diri. Tidak lagi hanya berfokus membesarkan website, tapi juga mulai membesarkan channel-channel lain seperti media sosial, aplikasi percakapan dan teknologi seperti newsletter dll. Website harusnya tidak lagi jadi inventory utama, tapi bergeser jadi sejajar dengan inventory lainnya.

Apa pesan yang ingin Anda sampaikan kepada generasi muda yang ingin berkarier di bidang jurnalisme?

Jurnalisme itu adalah sebuah gaya hidup, bukan karier. Gaya hidup jurnalistik mewajibkan kita untuk selalu tabayyun ke orang. Enggak menghakimi terlalu dini. Selalu riset ketika bertemu dengan sebuah masalah. Menceritakannya dengan tutur dan alur yang baik. Kalau jurnalisme sudah jadi gaya hidup, kita mau berkarier di mana pun bisa. Enggak cuma di media. Semua perusahaan sekarang pasti butuh storyteller. Butuh campaign manager. Jurnalisme adalah awal dari itu. Perusahaan media juga tidak hanya membutuhkan jurnalisme untuk menulis. Tapi jurnalisme adalah ruh dalam bercerita. Kira kira begitu sependek pengetahuan saya. (bsnn)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button