DPR Berada di Titik Nadir

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada pada titik nadir akibat krisis kepercayaan rakyat dan menjadi yang terparah dalam sejarahnya. Perilaku buruk anggota parlemen–dan juga pejabat publik–yang sering menunjukkan arogansi kekuasaan telah memicu kemarahan publik hingga memantik demonstrasi besar-besaran yang mengguncang negeri. Transformasi kelembagaan DPR secara menyeluruh dan reformasi yang menyentuh akar budaya serta sistem kerja mutlak dibutuhkan.
Unjuk rasa besar-besaran sejak 25 Agustus hingga awal September 2025 bukan hanya karena kenaikan tunjangan DPR di tengah kesulitan ekonomi masyarakat, sulitnya mencari kerja, daya beli anjlok, hingga gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor industri.
Kepercayaan masyarakat tergerus dengan sikap para elite yang suka menampilkan arogansi, pernyataan sembrono, penggunaan kewenangan, jabatan, serta fasilitas publik untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun kelompoknya, pengambilan kebijakan yang melawan hati nurani rakyat, hingga perilaku koruptif penyelenggara negara yang mengakar pada setiap institusi.
DPR tentu paling disorot karena lembaga yang seharusnya menjadi representasi rakyat, melayani dan penyalur aspirasi, justru telah berubah menjadi simbol ketidakadilan, panggung para elite politik mempertontonkan arogansi kekuasaan, kemewahan, tindakan koruptif, dan berbagai kontroversi.
Masyarakat menggantungkan harapan besar pada DPR yang dibayar lebih Rp 100 juta per bulan serta berbagai fasilitas mewah dari uang rakyat untuk menunjang kerjanya. DPR memiliki kewenangan besar dalam bidang legislasi, anggaran, pengawasan, hingga rekrutmen pejabat publik.
Sayangnya, kinerja DPR sering mengecewakan. Banyak undang-undang yang didesak segera disahkan untuk melindungi rakyat malah tidak kunjung rampung. Sebut saja Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Uang Kartal, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Adat, RUU Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan RUU Reforma Agraria.
Sebaliknya, undang-undang yang ditentang luas oleh rakyat sangat cepat dituntaskan dalam waktu singkat, seperti UU Cipta Kerja (Omnibus Law), UU KPK, UU TNI, dan UU IKN.
Sudah bukan hal baru dalam pembuatan undang-undang, DPR sering mengabaikan aspirasi rakyat apabila bertentangan dengan keinginan penguasa, kepentingan partai politik, maupun oligarki. Begitu juga dalam pengawasan, belum optimalnya fungsi dijalankan DPR membuat praktik penyalahgunaan kekuasaan terus merajalela. Ketakutan berseberangan dengan pemerintah dan ancaman sanksi dari pimpinan partai telah melenyapkan sikap kritis wakil rakyat.
Seharusnya, kewenangan besar dimiliki DPR digunakan sepenuhnya untuk menentukan arah kebijakan yang bermuara kepada kesejahteraan rakyat, mengawasi ketat setiap program pemerintah, penyalahgunaan jabatan kalangan eksekutif dan yudikatif, melahirkan undang-undang berpihak ke publik, dan memastikan alokasi anggaran lebih besar untuk peningkatan taraf hidup masyarakat.
Transformasi Kelembagaan
Anggota Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengakui kinerja parlemen selama ini belum sesuai harapan rakyat. Menurutnya, gelombang demonstrasi besar-besaran yang terjadi belakangan ini menjadi momentum bagi lembaganya untuk bertransformasi dan melakukan reformasi sistem secara kelembagaan.
“Itu menjadi introspeksi buat kami di DPR,” kata politisi Partai Golkar ini
Menurutnya, DPR harus memperbaiki pola komunikasi publik dan memperlihatkan perbaikan kinerja. Kemudian perlu mewujudkan transparansi anggaran dengan dibangun sebuah sistem penggajian pejabat dan birokrasi yang mudah diakses oleh publik, seperti di beberapa negara maju.
“DPR itu harus menjadi rumah yang tidak susah dimasuki atau diakses oleh seluruh rakyat Indonesia, karena itu rumahnya mereka,” katanya.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan anggota DPR harus aktif berkomunikasi dengan rakyat. Salah satunya dengan mengaktivasi kanal media sosial dan situs webnya. Setiap ada kesempatan reses, harus benar-benar turun langsung menyerap aspirasi masyarakat sebanyak-banyaknya, agar kehadirannya bisa dirasakan, sehingga bisa mencegah gejolak kemarahan yang berekses luas.
“Kalau ini terpola dengan baik, saya yakin citra DPR akan pulih. Citra partai politik juga demikian, dan yang paling penting sebenarnya di partai politik juga harus melakukan reformasi juga,” kata Agung.
Menurutnya, untuk memperbaiki kinerja parlemen, partai politik juga harus memastikan merekrut calon anggota legislatif berkualitas, bukan hanya melihat faktor ketenaran saja. Masyarakat harus diberi edukasi politik agar memilih calon berkualitas dan rekam jejak yang kuat.
Langkah konkret selanjutnya yang harus dilakukan DPR dan pemerintah, adalah jangan bersikap elitis dan mengabaikan masyarakat yang menyampaikan aspirasi, seperti melalui unjuk rasa.
“Kalau ada demonstran yang datang ke gedung dewan harus disambut, dijamu, minimal delegasinya, jangan dicuekin,” ujarnya.
Kalau aspirasi yang disampaikan cepat direspons dan relasi DPR dengan rakyat terbangun baik, menurut Agung, massa otomatis tidak akan bertindak anarkistis. Oknum aparat keamanan juga tidak ada yang berani “bermain-main” memprovokasi massa berbuat ricuh.
“Kalau ada oknum-oknum aparat yang bermain, apakah itu dari Polri, dari TNI yang mencoba merusak, mengganggu relasi itu, ya mereka akan habis dengan sendirinya. Kita bisa menggencarkan reformasi di tubuh Polri, sekaligus reformasi di tubuh TNI,” katanya.
“Ini momentum untuk melakukan refleksi, muhasabah. Ini adalah momentum positif untuk melakukan pembenahan terhadap pola komunikasi publik, pola kebijakan publik, dan sebagainya,” kata Dahnil yang juga wakil kepala Badan Penyelenggara Haji.
Founder Dron Emprit Ismail Fahmi melihat kuatnya gerakan kolektif dari kaum milenial dan generasi Z di media sosial untuk mendesak perbaikan sistem kinerja pemerintahan dan DPR hingga merangkum sikap bersama lewat 17+8 tuntutan rakyat.
“Harapan saya ini ada perubahan di kalangan DPR. Banyak masyarakat yang sudah putus asa ketemu DPR. Demo telah menjadi standing point. Mereka tidak bisa lagi menjadi nomor satu,” ujarnya.
Menurutnya, DPR selama ini sering dianggap warga nomor satu yang bisa bicara apa saja seenaknya, memamerkan kekayaan, dan lainnya. Sementara rakyat kini menuntut akuntabilitas dari DPR dan pemerintah, tidak hanya asal bertindak.
“Perilaku-perilaku flexing, ucapan tanpa nalar, tanpa naluri kemudian perilaku tanpa batas intelektualitas yang kuat yang kemudian hanya sekadar bunyi, itu sudah bukan tempatnya lagi,” ujar Fahmi.
Pengamat politik Universitas Jember (Unej) Muhammad Iqbal memaparkan beberapa solusi untuk mengatasi krisis kepercayaan masyarakat terhadap DPR, pemerintah dan aparat kepolisian terkait dengan gejolak masyarakat yang berujung pada anarkis dan penjarahan beberapa waktu lalu.
“Mengembalikan kepercayaan publik terhadap parlemen bisa dilakukan melalui pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan secara maksimal karena selama ini terkesan tumpul,” katanya.
Dalam hal legislasi, lanjut dia, DPR sudah seharusnya mempercepat pengesahan produk undang-undang yang berpihak kepada kepentingan publik karena masyarakat butuh keadilan, supremasi hukum, dan kepastian pemberantasan korupsi hingga akarnya, seperti RUU Perampasan Aset. Kemudian RUU KUHAP yang sedang dibahas harus bisa menjamin kebebasan berekspresi, melakukan kritik, sehingga tidak ada pasal yang mendiskriminasi, dan mengkriminalisasi rakyat.
Partai politik harus melakukan reformasi total terhadap anggotanya di parlemen karena penonaktifan Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, Uya Kuya, dan Adies Kadir, belum cukup untuk mengembalikan krisis kepercayaan masyarakat.
Jangan sampai atas nama mengatasi anarkisme, semua aksi massa dipukul rata dengan kekerasan represif karena sudah saatnya profesionalitas aparat keamanan mulai dari intelijen sampai petugas di lapangan bekerja demi melindungi dan menjamin kebebasan berekspresi rakyat tanpa represif.
Ketua DPR Puan Maharani menegaskan semua fraksi di DPR sudah berkomitmen melakukan transformasi kelembagaan secara menyeluruh. DPR sudah menghentikan tunjangan yang memicu kegaduhan dan memberlakukan moratorium ke luar negeri, kecuali untuk agenda konferensi kenegaraan.
DPR juga sedang memperkuat transparansi melalui sistem digital. Semua laporan kegiatan dan rapat terbuka dapat diakses di situs web DPR.
“Kami sungguh-sungguh ingin melakukan transformasi kelembagaan. DPR harus lebih terbuka, aspiratif, dan akuntabel,” tegas Puan. (bsnn-litbang)