ARTIKEL ILMIAH POPULERBerita Nasional

Dosa Ekologis di Balik Banjir Sumatera

Banjir dan tanah longsor yang melanda  sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar), pada akhir November 2025 menelan ratusan korban jiwa hingga melumpuhkan aktivitas ekonomi dan sosial. Para kepala daerah di Aceh sudah angkat tangan tak sanggup lagi menanganinya, tetapi pemerintah pusat belum menetapkan status bencana nasional meski desakan dari berbagai pihak terus mengalir.

Eskalasi kerusakan akibat banjir di Aceh, Sumut, dan Sumbar, sangat luas. Kerugian harta benda begitu besar. Aktivitas ekonomi, sosial, dan layanan kesehatan lumpuh. Perkantoran pemerintah tidak berjalan. Hingga 7 hari setelah bencana, listrik dan jaringan telekomunikasi belum pulih.

Sejumlah wilayah terisolasi akibat putusnya akses. Warga terkurung dalam kelaparan berhari-hari akibat distribusi bantuan tertahan. Hal ini setidaknya terjadi di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, Langsa, Aceh Utara Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Nagan Raya di Provinsi Aceh. Kemudian, Tapanuli Tengah dan Sibolga di Sumatera Utara, serta Kabupaten Agam dan Pasaman Barat di Sumatera Barat.

Pemerintah daerah yang gagap menghadapi bencana membuat korban terus berjatuhan. Evakuasi dan penanganan korban terkendala peralatan hingga sumber daya. Banyak warga harus berjuang menyelamatkan diri sendiri dan keluarga. Mereka juga bertahan secara mandiri dan swadaya sesama warga desa.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat hingga Senin (8/12/2025) pagi, korban jiwa akibat banjir dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar 929 orang, sedangkan warga yang hilang 274 orang, lebih 5.000 jiwa terluka. Bencana ini berdampak pada 52 kabupaten/kota dan merusak 148.100 rumah. Kerusakan juga terjadi pada berbagai fasilitas umum, fasilitas kesehatan, rumah ibadah, gedung atau kantor, jembatan dan fasilitas pendidikan.

“Eskalasi dampak dari banjir dan longsor ini sangat luas cakupannya, bahkan lebih luas dari Pulau Jawa, dan korbannya sudah ratusan jiwa. Kami mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status bencana nasional,” kata Muslim Armas, ketua umum Pengurus Pusat Taman Iskandar Muda (PPTIM), organisasi induk paguyuban masyarakat Aceh di Jabodetabek, Selasa (2/12/2025).

Menurutnya, dengan ditetapkan status bencana nasional, maka penanganan korban dan kerusakan bisa dilakukan maksimal dengan melibatkan banyak pihak. Selama ini, kata dia, banyak warga masih kelaparan dan terisolasi karena penanganan yang lamban.

“Kalau statusnya sudah ditingkatkan jadi bencana nasional, tentunya semua pihak bisa membantu dalam pemulihan sampai rehabilitasi dan rekonstruksi. Kami minta pemerintah serius menyelamatkan rakyat Aceh,” ujarnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, jika pemerintah menetapkan status bencana nasional, maka negara wajib menjamin hak korban untuk mendapatkan perlindungan darurat, kebutuhan dasar, pemulihan psikologis, hingga bantuan rekonstruksi.

Bencana nasional juga bisa menjadi legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan audit lingkungan hingga penegakan hukum terhadap perambah hutan yang selama ini menjadi biang kerok banjir dan longsor. Bantuan kemanusian dari negara asing pun bisa masuk. (**)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button