
Di Desa Palewai, Kecamatan Tanggetada, Sulawesi Tenggara, menjadi saksi bisu ironi kelangkaan Pertalite. SPBU Pertamina setempat seakan menjadi ‘hantu’ yang sulit ditemui. Jarang beroperasi, dan ketika buka pun, stok Pertalite cepat habis, memaksa warga, termasuk mahasiswa USN Kolaka yang bermukim di area tersebut, mengantre panjang dan terkadang pulang dengan hasil kosong.
Ironisnya, di depan gerbang SPBU, berjajar penjual bensin eceran yang seolah tak pernah kehabisan stok. Mereka dengan leluasa melayani pembeli, bahkan menawarkan harga yang lebih mahal dari harga yang ada di SPBU.
“Kami mahasiswa seringkali kesulitan mendapatkan Pertalite di SPBU. Padahal, kebutuhan kami cukup tinggi karena kami sering menggunakan motor untuk kuliah dan beraktivitas,” keluh Briant, mahasiswa USN Kolaka. “Kami terpaksa membeli dari penjual eceran dengan harga yang lebih mahal, karena SPBU selalu tutup atau kehabisan stok.”
Kejadian ini bukan hanya soal antrean panjang dan waktu yang terbuang sia-sia, tapi juga tentang aksesibilitas dan keadilan bagi warga Tanggetada, khususnya mahasiswa USN Kolaka. Mereka ‘dipaksa’ membeli bensin dari penjual eceran dengan harga yang lebih tinggi dari harga SPBU, sementara SPBU Pertamina yang seharusnya menjadi solusi, justru ‘menghilang’ di saat dibutuhkan.
Keberadaan kampus USN Kolaka seharusnya menjadi pertimbangan utama bagi Pertamina untuk memastikan ketersediaan bahan bakar di SPBU Palewai, Kecamatan Tanggetada. Mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang membutuhkan akses mudah dan terjangkau terhadap bahan bakar, mengingat mobilitas mereka yang tinggi.
Masyarakat Tanggetada, khususnya mahasiswa USN Kolaka, menuntut jawaban atas pertanyaan ini. Apakah ini sekadar masalah distribusi yang tak teratasi, atau ada faktor lain yang lebih kompleks? Pertamina harus segera bertindak tegas dan transparan untuk menyelesaikan masalah ini, sebelum masyarakat tidak percaya lagi.