Catatan Ridwan Demmatadju

Di Dapurku Ada Ceritanya

Catatan Ridwan Demmatadju

Inilah wujudnya setelah sebungkus cabe, tomat menyatukan diri.Tentu ada tambahan beberapa siung bawang putih dan merah.Harus ditumbuk pakai lesung batu.Lebih nikmat rasanya daripada saya gunakan blender atau mixer.Saya suka jika ditambahkan gula pasir atau gula merah sebagai penetralnya, oh selalu harus ada garam dan terasi biar bisa mengantar imajinasi ke sudut negeri paling jauh di Sulawesi Tenggara.Terasi bombana sisa sedikit saya campur diulekan batu itu.Dan lebih sempurna ada singkong rebus.Maka ini jadi pengganti santap siangku.

Soal masak dan menggoreng dan menikmatinya sejak masih di saya masih di bangku sekolah sampai kuliah sudah rutin harus saya lakukan sendiri jika ada yang saya ingin santap.Kebiasaan itu karena Ibu saya dulunya memang terbilang ahli masak dan juga bisa membuat segala jenis kue.Karena keahliannya itulah dia terkenal sebagai penjual kue khasnya orang Selayar di Pasar Dawi-Dawi,Pomalaa. Nama kuenya roti bakar dari gula merah dengan bahan dasarnya dari tepung beras.Roti bakar ini sejak ibuku berpulang, tak ada lagi kue itu, yang tersisa hanya kenangan dan soal rasa di memori sebagai ingatan saya dan juga pelanggangnya.Dari ibuku saya memahami soal seni dan keterampilan memasak, karena setiap hari bahkan setiap saat saya selalu menemani di dapur sampai saya remaja.Selalu saya perhatikan setiap kali dia meracik bumbu sampai terhidang di atas meja.

Tak banyak yang tahu proses pembuatan kue roti bakar gula merah ini.Selain ibuku, kalaupun resepnya dia miliki pasti akan sulit dibuat.Tepung beras itu harus direndam selama 8 jam, setelah itu ditiriskan beberapa saat lalu di tumbuk pakai lesung kayu.Biasanya saya ikut membantu menumbuk beras yang sudah direndam itu, proses menumbuk usai sholat Azhar ibuku sudah siap dengan peralatannya sebuah loyang besi berukuran besar dan tanda.Makan dua jam untuk mendapatkan tepung halus bahan kue.Kadang kala bisa sampai terdengar suara adzan magrib baru selesai, jika ada pesanan ibu-ibu arisan di kompleks Antam atau acara pengajian majelis ta’lim.

Sampai disini tentunya masih ada lagi lanjutannya, selepas sholat magrib.Tepung beras ini mulai dicampur dengan air gula merah sampai benar-benar merata.Sekitar setengah jam diaduk saja, mixer belum ada saat itu.Semua serba manual.Selesai proses ini, adonan kue ini harus didiamkan selama 7-8 jam.Karena ini rotinya dibakar menggunakan arang maka potongan kayu pun harus tersedia di dapur.Dapur di zaman itu memang belum ada kompor gas.Tumpukan kayu di atas dapur rumah terlihat termasuk sabuk kelapa dalam karung juga ada diatas tumpukan.Saat lantunan suara dari pengeras suara di masjid dan Adzan Shubuh terdengar ibuku sudah siap dihadapan nyala dan bara api untuk menyiapkan wajan besi dan tiga sampai lima penutup terbuat dari tanah liat orang Selayar menyebutnya Palakko, ini harus dibakar sampai suhu tertentu.

Pukul sembilan pagi baru selesai semua.Roti bakar gula merah ini beda dengan kue cucur.Kalau cucur di goreng biasa saja.Kalau kue buatan ibuku itu melalui proses yang butuh kesabaran.Dan kue ini biasanya selalu habis di rumah sembari ibuku membuatnya, begitu ada yang masak sudah ada yang menunggu untuk dibelinya.Nah jika tidak habis barulah ibuku membawanya ke pasar untuk di jual bersama kue lainnya, semisal kue lapis, atau kue mangkok dua warna yang dikukus.Hampir semua kue buatan ibuku saya paham cara buatnya.Termasuk soal rasa yang sudah pas dilidah masih tersimpan di ingatanku.Begitulah ceritanya dibalik semua kebisaanku soal kuliner yang mungkin tidak semua laki-laki bisa bermain di dapur untuk menghasilkan berbagai makanan lezat.Laki-laki jika main di dapur dianggapnya tabu.Bukan wilayahnya,tapi bagi saya ini bukan soal wilayah tapi ini soal rasa suka dan bentuk kebebasan saya sendiri untuk memastikan bahwa sajian makananku harus bisa meliarkan imajinasiku.Jadi bukan sekedar masak-masak..coy.

Kolaka,20/1/2023

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button