Berita NasionalEkonomi &Bisnis

Ketimpangan Daya Beli dan Ilusi Kelas Menengah dalam Fenomena Rojali dan Rohana

DOSEN Dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani mengatakan fenomena Rojali atau rombongan jarang beli, Rohana atau rombongan hanya nanya, dan Robeli atau rombongan benar-benar beli yang ramai dibicarakan di media sosial telah membuka tabir yang lebih dalam mengenai struktur sosial-ekonomi Indonesia kontemporer.

“Di balik tawa, meme, dan lelucon digital, tersimpan suatu ironi: pusat perbelanjaan yang ramai bukan selalu menandakan kemakmuran, tetapi bisa jadi menjadi cerminan ketimpangan daya beli dan kerentanan ekonomi rumah tangga kelas menengah,” kata Listya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi bsnn.

Ketimpangan Daya Beli dan Ilusi Kelas Menengah dalam Fenomena Rojali dan Rohana

Dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Yogyakarta, ini mengatakan, Mal saat ini telah melampaui perannya sebagai pusat perdagangan. Mal, telah menjelma menjadi ruang sosial-ekonomi multifungsi, tempat di mana orang tidak hanya membeli barang. Tetapi, kata dia, juga membeli suasana, membangun citra diri, bahkan membeli rasa berada di tengah modernitas.

Menurut Listya, banyak individu yang mengadopsi gaya hidup kelas atas sebagai bentuk representasi identitas, bukan sebagai refleksi dari kekuatan finansial mereka. Perilaku konsumsi yang tidak didasarkan pada kemampuan riil, melainkan pada aspirasi sosial tersebut semakin diperkuat dengan kehadiran media sosial yang mendorong budaya performative consumption.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hanya sekitar 20–30 persen penduduk Indonesia yang tergolong kelas menengah jika menggunakan indikator pengeluaran riil. Namun, survei persepsi dari berbagai lembaga riset memperlihatkan lebih dari 60 persen masyarakat mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelas menengah.

Listya mengatakan, gap ini memunculkan middle-class illusion, sebuah kondisi ketika persepsi kelas tidak sejalan dengan struktur pendapatan dan daya beli. Ini menjelaskan mengapa mal tetap dipadati pengunjung, meskipun tingkat konsumsi aktual atau pembelian hanya dilakukan oleh sebagian kecil pengunjung yang benar-benar memiliki daya beli.

Menurut Listya, kehadiran Rojali dan Rohana di mal bukan semata karena mereka memiliki pilihan, melainkan karena minimnya alternatif ruang publik yang gratis, nyaman, dan inklusif di kawasan urban. Mal menjadi public sphere pengganti, di mana orang dapat merasa menjadi bagian dari modernitas dan komunitas, meskipun hanya dengan berjalan-jalan atau berfoto tanpa membeli.

“Kondisi ini juga memperlihatkan kelemahan dalam desain kebijakan makroekonomi yang terlalu terfokus pada stimulus konsumsi jangka pendek,” kata pengajar Jurusan Ekonomi ini.

Listya menjelaskan, program seperti festival belanja, diskon massal, atau subsidi harga, memang mampu menciptakan ledakan konsumsi sesaat, namun tidak menyelesaikan akar persoalan ketahanan ekonomi rumah tangga. Padahal, pertumbuhan konsumsi domestik yang sehat dan berkelanjutan hanya mungkin terjadi jika fondasi pendapatan masyarakat diperkuat.

“Termasuk dengan kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif, jaminan sosial yang komprehensif, dan pengendalian harga kebutuhan pokok,” kata dia.

Oleh karena itu, kata Listya, fenomena Rojali dan Rohana perlu dibaca sebagai gejala struktural, bukan sekadar kelucuan budaya digital. Fenomena ini adalah cermin dari ekonomi aspiratif yang rapuh, dari kelas menengah yang hidup di antara mimpi dan kenyataan.

‘Tugas pemerintah, akademisi, dan pelaku industri adalah memahami dinamika ini secara komprehensif dan menyusun intervensi kebijakan yang tidak hanya responsif, tetapi juga transformatif menciptakan masyarakat konsumsi yang lebih berdaya, setara, dan berkelanjutan,” katanya. (bsnn)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button