Catatan Ridwan Demmatadju

Segelas Kopi dan Potret Desa Oko-Oko

Catatan : Ridwan Demmatadju.

Menjelang magrib saya duduk sendiri di sebuah warung kopi di persimpangan jalan kawasan PT Indonesia Pomalaa Industtial Park (IPIP) di Desa Oko-Oko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Kali pertama saya mangkal di tempat yang ramai dengan pekerja yang hendak pulang dari lokasi pekerjaannya. Sembari mengamati situasi di sekitar nya, saya ditemani segelas kopi susu yang saya pesan.Terlihat dari kejauhan sejumlah kendaraan berat parkir tidak jauh dari warung tempatku menunggu teman yang sementara berada di lokasi pembukaan lahan (land clearing) kawasan milik PT IPIP.

Dahulu daerah ini hanya sebuah kawasan yang tak menarik dilihat apalagi untuk dijadikan tempat bermukim dengan segala aktifitas hidup. Desa Oko-Oko tidak masuk dalam kategori ekslusif secara ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya. Bahkan tak sedikit warga yang menjual lahan kebunnya di bawah harga pasaran lantaran lahannya dinilai tidak bisa dijadikan kebun, juga struktur tanah merah tanaman tidak dapat tumbuh subur di tempat ini.

Sebagaian warga di Desa Oko-Oko lebih memilih meninggalkan kampung halamannya untuk mengais rejekinya.Kecuali mereka yang punya sawah memilih menetap dan menggarap sawahnya. Areal persawahan terlihat di sepanjang jalan menuju ke arah Bandara Sangia Nibandera, dan kawasan hutan lindung Desa Lamedai. Tidak jauh dari persimpangan jalan tempat saya menikmati segelas kopi terdapat jembatan yang menghubungkan Desa Oko-Oko beberapa desa di Kecamatan Tanggetada.Sebuah jembatan dengan aliran sungai di bawahnya kini airnya sudah berwarna kecoklatan dan dipinggiran sungai nampak jelas sedimentasi lumpur memerah sepanjang alur sungai itu.

Di sungai itu, saat masih kanak-kanak beberapa kali saya mandi-mandi bersama teman sebaya.Kala itu airnya masih sangat jernih.Bahkan warga di sekitarnya bisa menangkap udang di sela-sela batu di pinggiran sungai. Sepanjang ingatanku di masa itu saya masih sekolah di SD Antam Pomalaa, Tahun 1986.Untuk bisa ke Desa Oko-Oko di sungai itu, saya hanya menumpang mobil bus pekerja tambang di Tanjung Leppe, sekitar Desa Sapura (masih lahan konsesi PT Aneka Tambang) sampai sekarang.Kebetulan di arel persawahan itu, pemiliknya tetangga saya di Dawi-Dawi jadi bisalah saya ikut di mobil bus. Pemilik sawah dekat sungai itu memang sopir mobil bus angkutan karyawan Antam ke Tanjung Leppe.

Kenangan 40 Tahun lalu itulah yang terbayang sembari menikmati segelas kopi susu dengan ampas yang mulai tenggelam di dasar gelas.

Hingga pukul 18.05 lalu lalang kendaran berat dan mobil pengangkut karyawan jadi pemandangan di jalan berlumpur di sore jelang magrib.Jalan berlumpur dan berdebu seolah tak lagi dihiraukan orang-orang di sekitar kawasan PT IPIP ini.

Potret kehidupan manusia terlihat jelas disini, perubahan daerah ini yang dulu hanya dianggap daerah mati secara ekonomis, kini berubah menjadi kawasan yang incar oleh semua pengusaha mulai pengusaha kelas teri hingga pengusaha kelas kakap di Indonesia.Saat ini, beberapa desa di dekat kawasan yang akan berdiri smelter (pabrik pengolahan dan permurnian biji nikel) ini, perusahaan dari negeri tirai bambu sudah menguasai sebagian besar lahan di Desa Oko-Oko hingga ke batas wilayah Kolaka Timur.Dengan luas lahan sekitar 11.000 ha.

Di daerah inilah Pembangunan proyek fasilitas pengolahan bijih nikel berteknologi HPAL milik PT. Kolaka Nickel Indonesia (PT.KNI) di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Proyek smelter ini dikelola secara patungan (joint venture) antara PT Vale Indonesia, Huayou Cobalt, dan Produsen mobil asal Amerika Serikat Ford Motors.

Dari data inilah tentunya, kawasan ini jadi magnet bagi manusia pencari kerja untuk bisa bertahan atau merubah nasibnya.Dari kelas pekerja menjadi warga kelas dua yang mapan secara ekonomi.

Desa ini tumbuh dengan geliat beragam usaha menyediakan kebutuhan ribuan karyawan yang bekerja dan tinggal di sekitar kawasan ini.

Kendati demikian, di balik semua perubahan atas nama Proyek Strategis Nasional, Petaka kerusakan alam akibat pertambangan, para petani sawah di Desa Lamedai, Kecamatan Tanggetada, Kabupaten Kolaka (berdekatan dengan kecamatan Pomalaa).

Juli 2023, banjir bandang menimpa desa tersebut dan membanjiri 500 hektare persawahan warga. Banjir berwarna merah kecokelatan tersebut diduga kuat hasil limpahan air nikel imbas pembukaan kawasan PT. Indonesia Pomalaa Industry Park (PT. IPIP).

Akibatnya, petani merugi karena kualitas panen buruk, gagal panen jadi makanan petani sejak IPIP didirikan. Padi tak lagi gemuk, bahkan banyak di antaranya kopong. Proyek pembangunan kawasan industri itu mengakibatkan pencemaran Sungai Oko-Oko. Mirisnya sungai tersebut dipakai sebagai sumber air minum masyarakat, juga sebagai sumber utama irigasi sawah di Desa Lamedai.

Belum lagi soal sengketa lahan dan munculnya sertifikat siluman yang diduga dilakukan oleh oknum aparat desa bersama oknum pegawai pertanahan, hingga kini masih tersisa.

Desa Oko-Oko kini jadi kawasan yang akan memasok segala rupa pertarungan hidup manusia dari tekanan ekonomi hingga manusia dengan segala sifat keserakahannya, hingga tak lagi peduli kerusakan bentangan alam.Begitulah manusia selalu ingin mendapatkan keuntungan dengan segala cara akan dilakukan untuk bisa sampai ke puncak mapan secara ekonomi. Ironisnya mereka kaum pekerja tak bisa mendapat kehidupan yang layak khususnya di daerah pinggiran kawasan industri.Semua ini akan terjadi entah kapan tetapi pasti akan terjadi termasuk datangnya bencana alam di daerah yang sudah rusak bentangan alamnya.

Segelas kopi belum selesai aku minum, tetapi tulisanku mengalir panjang hingga saya tak sanggup melanjutkannya.Teman yang aku tunggu juga belum keluar dari lokasi tempatnya bekerja.

Desa Oko-oko, 02 Juni 2025.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button