Petani dan Pengusaha Sawit Kompak, Dukung Pembatasan Ekspor CPO
Mandatory program campuran biodiesel 35 persen (B35) yang akan dimulai bulan depan, ini akan memberikan dampak pada ekspor CPO.
Petani dan pengusaha sawit sama-sama sepakat dengan kebijakan baru pemerintah yang membatasi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mulai 1 Januari 2023. Kebijakan tersebut dinilai tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja industri sawit. Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan kebijakan pemerintah tersebut tepat. Sebab, dengan mandatory program campuran biodiesel 35 persen (B35) yang akan dimulai bulan depan, setidaknya akan menyerap 14 juta ton CPO nasional. Dia membeberkan, kebijakan tersebut juga dinilai tepat karena produksi CPO dalam negeri juga diprediksi bakal melorot.
Hal tersebut, kata dia, lantaran dipengaruhi beberapa faktor, terutama harga pupuk yang naik hingga 300 persen.
“Akibatnya 60 persen luas kebun petani tidak memupuk sama sekali. Dan ini menjadi pemicu menurunnya produktivitas kebun sawit rakyat. Akibat dari menurunnya produksi TBS petani, maka produksi CPO secara nasional akan terdampak menurun 5-11 persen. Tahun lalu sumbangan CPO Petani adalah 28 persen dari total produksi nasional,” ujar Gulat saat dihubungi, Senin (2/1/2022).
Dia juga meminta agar pemerintah untuk memberi perhatian terkait kenaikan pupuk tersebut. Menurutnya, awal tahun 2022 lalu sekitar harga pupuk NPK Rp250-300 ribu/zak dan saat ini harganya mencapai Rp800-Rp1 juta/zak (50 kg). Lebih lanjut, Gulat mengungkapkan tahun ini diproyeksikan kebutuhan dunia akan minyak nabati terutama dari sawit akan meningkat. Hal ini dipengaruhi juga karena produksi CPO Malaysia akan sedikit bermasalah yang disebabkan ketersediaan tenaga kerja. Oleh karena itu, harga CPO dunia akan naik di 2023 ini secara progresif dan harga TBS petani akan terdongkrak pada kisaran Rp3.000-Rp4.500/kg tahun ini.
Kenaikan ini tentu akan merangsang eksportir memacu quota ekspornya. Jadi jika tidak diantisipasi oleh Kemendag, akan berpotensi kelangkaan minyak goreng lagi,” jelas Gulat. Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Minyak Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menilai kebijakan pengurangan ekspor CPO tersebut tidak terlalu bermasalah bagi pelaku usaha. Asalkan, kata dia, kebijakan tersebut harus rutin dievaluasi. Eddy memahami bahwa kebijakan ini untuk antisipasi kebutuhan lokal yang akan meningkat dengan penerapan B35 dan menjelang Ramadhan di akhir Maret, disaat bersamaan diprediksi produksi menurun.
“Kami memohon dengan evaluasi rutin apabila ternyata penurunan produksi tidak sesuai dengan prediksi, ini untuk menjaga agar tidak terjadi penumpukan TBS di pabrik yang akan berakibat menekan harga TBS petani,” ujar Eddy, Senin (2/1/2022).
Kementerian Perdagangan mulai Januari 2023 akan mulai memberlakukan pengurangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Kebijakan tersebut diberlakukan agar kebutuhan kebutuhan CPO untuk minyak goreng dalam negeri tidak mengalami kekurangan, terutama saat bulan puasa dan Lebaran. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan ketentuan baru ekspor CPO yang baru tersebut mengharuskan eksportir CPO memasok Domestic Market Obligation (DMO) 1:6. Artinya, eksportir wajib memasok CPO 1 ke domestik baru bisa ekspor 6. Misalnya jika memasok DMO 300.000 ton, maka si pemasok bisa mengekspor sebanyak 6×300.000 ton. Kebijakan DMO sebelumnya sendiri yaitu 1:8.
Sebagai informasi, DMO adalah batas wajib pasok yang mengharuskan produsen minyak sawit untuk memenuhi stok dalam negeri sesuai ketentuan. “Aturannya sudah [ada soal pengurangan ekspor CPO]. DMO-nya dari 1:8 menjadi 1:6. Kenapa? Karena kita persiapan untuk menghadapi bulan puasa dan Lebaran. Mungkin kebutuhannya akan meningkat makanya DMO-nya dari 1:8 ke 1:6,” ujar Zulhas dalam jumpa persnya di Kementerian Perdagangan, Senin (2/1/2023). (k-21)