“Toko Serba Ada, Pasar dan Sayur Mayur”
Catatan Perjalanan Idham Malik, Fisheries di Yayasan WWF Indonesia
Tanggal 26 Desember 2022 ini adalah 58 hari kami menetap di Alor. Belum begitu lama, tapi saya merasa sudah cukup kerasan di kampung ini. Karena itu, saya ingin mengenang-ngenang dan mencoba mendiagnosa denyut nadi kehidupan di Alor.
Ketika kita mendarat di Bandara Mali, akan sedikit merasakan kaget karena mendatangi suatu dunia baru. Kita akan melewati jalanan aspal dengan rumah-rumah batu sepanjang jalan. Beberapa kali diselingi dengan gereja, halaman-halaman rumah dengan pohon-pohon beringin ataupun kosambi di depannya. Anjing anjing biasa duduk-duduk malas di pasir ataupun mengibas-ngibaskan ekornya di depan anak-anak yang menarik-narik mobil plastik.
Memasuki kota, terlihat toko-toko di kiri dan kanan, toko-toko yang berada tepat di depan rumah dan ada juga yang sudah menjadi ruko (rumah toko) ini khas kota-kota kabupaten, menjajakan segala hal, mulai dari sapu lidi hingga kasur, dari ember dan keranjang yang dipasang di depan, hingga blender dan kipas angin menunggu di dalam. Ada pula toko-toko listrik, dengan lampu-lampu dan kabel, hingga agak menumpuk di dekat pasar Kalabahi, yang biasa disebut warga lokal sebagai pasar terbakar. Di situ terlihat sirih dan pinang akan berdekatan dengan toko-toko yang menjajakan AC dan kulkas.
Toko dan ruko yang berada dekat pasar ini jika kita telusuri lebih dalam adalah milik penduduk beretnis Cina/tionghoa. Sebagian toko yang biasanya lebih kecil dikelola oleh pendatang dari Sulawesi, berbangsa Bugis. Pendatang bugis yang mungkin sudah sepuluh atau 20 tahun lalu mencari peruntungan di Pulau kenari ini tersebar ke area-area dekat laut yang didominasi oleh penduduk beragama Islam, pedagang-pedagang Bugis di Alor banyak yang terafiliasi melalui satu bentuk komunitas kekeluargaan. Sebagian juga toko-toko dekat laut itu dimiliki oleh etnis Cina, di samping etnis Buton, dan salah satu daerah di Wakatobi, yaitu Binongko, yang bermukim di sekitar pelabuhan. Etnis Jawa tidak begitu banyak berjualan, sejauh ini pengamatan saya, mereka lebih terkonsentrasi membuka warung atau rumah makan. Jika malam hari, saya di awal-awal sering ke lalapan Sari Laut pinggir jalan, lalapan ini umumnya dari etnis Jawa.
Sedangkan, orang-orang lokal menjajakan komoditasnya di pasar, dengan lapak-lapak berisi sayur mayur, buah-buahan, beragam jenis ikan, dan pada bagian dalam terdapat kios-kios pakaian dan beragam peralatan dapur. Orang yang berdarah Alor sendiri barangkali juga sudah membuka beberapa toko yang lebih kecil yang tersebar merata di Kota kalabahi. Mereka menjajakan kebutuhan rumah tangga seperti sabun, bedak, rokok, beragam cemilan.
Pasar selalu terlihat ramai, baik pagi maupun sore hari. Sepertinya warga Alor setiap hari ke pasar, untuk membeli ikan dan sayuran. Mungkin karena ingin terus menerus memakan ikan segar. Ikan-ikan yang dijajakan tampak segar-segar, jenis ikan yang umum yaitu ikan layang (belo-belo), ikan selar (melus), ikan ekor kuning, ikan kembung (kembong), ikan tongkol, ikan lamuru, ikan tenggiri, dan juga kadang-kadang ikan tuna. Sayurnya pun tampak segar-segar, saya jarang menemukan sayur, baik itu kangkung, sawi, bayam, terung, kacang panjang, kacang buncis dalam kondisi kurang segar. Saya tak bisa membayangkan seperti apa regulasi ikan dan sayur ini setiap hari sehingga selalu terjual dan datang barang baru.
Itulah sumber ekonomi orang Alor, dengan mendatangkan sayur dari gunung dan ikan dari pantai-laut. setiap hari mobil-mobil pick up membawa ber-bak bak ikan layang, tongkol, tuna dll dari kampung-kampung nelayan seperti Kokar, Sebanjar, Alor Kecil dan Kabola. Dan sayur-sayur dari Petleng, dan Mebung dan kampung-kampung di pegunungan Alor Tengah Utara. Sayur-sayur mereka ditadah oleh pengumpul/pembeli di Kalabahi, yang di sini disebut sebagai Papalele. Sebenarnya, di kampung-kampung nelayan maupun pekebun itu juga pembeli produk-produk mereka di sebut papalele. Papalele biasanya seorang perempuan yang sudah berkeluarga dan mandiri. Iya menggunakan modalnya untuk membeli ikan dari nelayan atau sayur dari petani, atau bekerjasama dengan mereka dari segi penyediaan sarana dan prasarana produksi dalam penangkapan ikan.
Ada juga desa penghasil komoditas kopi yaitu Atemelang pun saya dengar dari seorang kawan mulai mengembangkan komoditas kopi. Atemelang adalah sebuah kampung yang pernah diteliti dengan baik oleh antropolog berkebangsaan Amerika Serikat, Cora De Bois. Tapi penjelasan ini nanti saja. Selain Atemelang ada Desa Apui, Alor Selatan, yang terkenal dengan kualitas vanili-nya. Vanili tanah Alor lebih panjang dengan vanili tanah lain. Harga vanili kering di Alor bisa tembus Rp. 5-6 juta perkilogram-nya. Kita pun teringat masa lalu, berabad-abad lalu, Alor didatangi pedagang dari bangsa-bangsa lain, termasuk bangsa Makassar, untuk menukarkan Nekara atau di sini disebut Moko yang diambilnya di pulau Jawa dengan rempah-rempah seperti cengkeh, vanili dan kenari. Moko adalah bentukan tembaga untuk kegiatan ritual dan alat music.
Kita pun tidak bisa menganggap remeh nelayan-nelayan ini, banyak diantara mereka adalah pemilik modal besar. Mereka memiliki kapal cukup besar untuk menangkap ikan hingga 1-2 ton ikan layang, bersama tongkol dan cakalang dengan mesin 15 hingga 25 PK. Pimpinan nelayan atau punggawa ini memodali penangkapan ikan dan menampung hingga 10-12 anak-anak buah kapal, yang bukan hanya dari kampung pesisir tapi juga dari gunung yang umumnya tidak tahu berenang. Saya mengenal satu orang nelayan yang sering melakukan plesiran ke Kota Dili, Timor Leste. Saya kira, tidak sembarang orang bisa plesiran seperti itu.
Belum lagi kita hitung petani rumput laut, petani ini memanfaatkan pesisir laut untuk ditanaminya atau dikembangkannya rumput laut jenis sakol. Ada di antara mereka yang memiliki lahan yang luas dengan kapasitas jumlah tali hingga 500 bentangan, yang dalam hasil periodiknya bisa memperoleh 1 ton hingga di atasnya. Tentu, ia kemungkinan pula jadi juragan, yang membeli hasil-hasil panen rumput laut petani yang lain, yang akan berkoordinasi dengan pedagang-pedagang dari Makassar dan Surabaya.
Tambahan kelas menengah lain berasal dari para pegawai negeri/birokrasi, yang sepertinya belum kaya-kaya amat. Atau mereka juga kaya dengan layak lewat kegiatan bisnis tambahan, misalnya memiliki kamar kos-kosan, atau beberapa rumah kontrakan. Justru, penginapan-penginapan berkelas yang dilengkapi dengan jasa liburan bawah laut didominasi oleh para pendatang, yang menguasai ilmu pelayanan wisata bawah laut dan memiliki akses pada para wisatawan dalam negeri dan luar negeri. Bidang ini bisa menjadi sumber-sumber ekonomi baru, tapi harus dibangun dari awal, melalui gerakan-gerakan pendidikan pelayanan dan wisata. Agar anak-anak Alor punya keterampilan dalam dunia bawah air.
Pemuda-pemuda Alor justru terserap ke luar Alor, karena banyak dari mereka mendaftar menjadi anggota Angkatan bersenjata atau tentara dan polisi. Sehingga selalu ditempatkan di daerah selain Alor. Profesi tentara menjadi profesi idaman pemuda-pemuda Alor, mungkin saja karena tentara mereka dapat hidup lebih tenang karena adanya gaji bulanan, mereka tidak harus lagi bersusah-susah tinggal di kampung untuk menggali dan menyuburkan tanaman, serta tak perlu lagi bersusah-susah mencari ikan di laut.
Untuk remaja putri, kebayakan disekolahkan di Jawa dan Makassar untuk menempuh pendidikan kebidanan dan keperawatan. Setelah selesai, Sebagian dari mereka Kembali ke kampung untuk diserap oleh instansi kesehatan di kota ataupun di desa. Sebagian yang lain yang menempuh Pendidikan guru, Kembali ke kampung untuk mengajar di sekolah dasar ataupun menengah. Anak-anak yang tumbuh dari kegiatan Bertani dan melaut, termasuk kegiatan berbudidaya rumput laut ini menaiki sebuah tangga, yaitu pelayanan dan menjadi pegawai pemerintah atau swasta, sebagai tentara, polisi, perawat, bidan dan guru.
Salah satu faktor yang mendukung anak-anak Alor bagian pesisir untuk bersekolah adalah kegiatan budidaya rumput laut. sejak 2006 rumput laut diperkenalkan ke Kab. Alor, dana yang diperoleh dari penjualan hasil yang harganya biasanya cukup tinggi, membuat orang tua-orang tua di kampung-kampung pesisir memiliki uang lebih untuk menyekolahkan anak-anak mereka, bahkan mengirim anak-anak mereka universitas-universitas di Jawa dan Sulawesi. Tentu, untuk lebih mengembangkan hal ini, perlu pemerintah lebih focus lagi pada perbaikan kualitas Pendidikan dasar dan menengah, memberikan subsidi yang cukup besar pada perbaikan SDM dengan fasilitas-fasilitas penunjangnya. Selama dua bulan saya di sini, jarang saya temukan tempat-tempat public tempat gagasan dibangun dan dipupuk.
Sehingga, boleh dikata bahwa kelas menengah Kabupaten Alor tumbuh dari aktivitas ekonomi ini. Mereka menggerakkan ekonomi yang boleh dibilang tidak cepat dan tidak lambat, atau boleh dibilang pertumbuhan ekonomi kota pertanian dan perikanan, dengan tambahan sektor jasa di kota-klontong dan jasa wisata laut. Pemasok ekonomi bukan berupa pabrik-pabrik besar yang menyerap banyak pegawai/karyawan, tapi dari kegiatan aktivitas jual beli bahan baku pakan, dan sandang, serta kebutuhan-kebutuhan rumah tangga lainnya. Untuk pertumbuhan ekonomi seperti ini, Saya tiba-tiba mengingat istilah dalam buku Thomas L. Friedman untuk perkembangan ekonomi di India hingga tahun 80-an, yaitu pertumbuhan ekonomi gaya Hindu, yang hanya sekitar 3 persen pertahun.
Dengan begitu, Kita tidak bisa terlalu berharap banyak, kalau Kalabahi akan tumbuh menjadi kota besar, seperti Doha tempat ajang Piala dunia itu atau pun Dalian, sebagai kota Industri di Cina. Doha dan Dalian hanya beberapa tahun menjadi kota mega (megacity) yang menyerap energi yang dahsyat. Tentu juga mengeluarkan kotoran yang besar pula. Sementara Alor, saya kira adalah kota kecil dengan penyerapan energi kecil. Mungkin bisa dihitung, tak banyak rumah di Alor ini yang memiliki AC. Jalanan-jalanan Alor hanya diseliweri mobil-mobil angkutan umum/angkot, dengan hampir nol titik kemacetan. Tak banyak warga Alor punya kemampuan untuk membeli mobil keluarga. Meski begitu, di situlah baiknya, sebab tak banyak orang-orang Alor merasa bersalah dengan persoalan lingkungan, sebab jejak carbon yang dihasilkan jauh lebih kecil.
Orang-orang Alor lebih menikmati nongkrong-nongkrong di tepi pantai sembari merokok dan ngobrol sembari menyeruput kopi Buaya buatan pabrik atau minimal nongkrong di celyn Cafe milik Emmy Maro sembari memandangi laut dan bakau dibandingkan duduk-duduk di sofa empuk café-café ber-AC dengan Americano berharga mahal. Saya pun bersyukur berada dalam lingkungan ini, yang setidaknya memaksa saya untuk menurunkan gaya hidup, yang secara otomatis juga menurunkan jejak ekologis saya di bumi.