BELAKANGAN ini warganet ramai membicarakan tentang salah seorang influencer Indonesia yang tinggal di luar negeri bercuit tentang dirinya yang berprinsip childfree. Sejak itu, banyak pro-kontra dari masyarakat tentang layak atau tidaknya cuitan tersebut. Tidak sedikit yang menghujat hingga meng-unfollow influencer tersebut. Tidak hanya tentang childfree, fenomena seperti ini acap kali terjadi pada opini yang dilayangkan selebritas di media sosial (medsos) atau sering kita sebut influencer.
Ditambah lagi sering beredar ucapan ‘namanya juga influencer, ya ini risikonya’ dalam arti harus berhati-hati dalam setiap ucapannya. Namun dari perspektif netral, seringkali warganet juga memberikan respons yang cukup intens terhadap apapun yang diunggah influencer. Dalam bermedsos ada konsep yang disebut etika digital (netiquette). Etika digital mengacu pada penyampaian opini dalam platform digital dengan tulus, empati, dan menggunakan bahasa yang tenang.
Dengan teknologi medsos yang memungkinkan komunikasi interaktif, pengguna menjadi semakin mudah menyampaikan pendapatnya secara bebas. Namun ini seringkali menjadi bumerang bila tidak berhati-hati dalam beropini, yaitu dapat rentan melakukan perilaku cyberbullying. Cyberbullying merupakan perilaku menakuti, membuat marah, atau mempermalukan seseorang melalui sosial media, dan hal ini dilakukan secara berulang.
Lebih lanjut, beberapa studi menunjukkan cyberbullying banyak dilakukan oleh populasi remaja meskipun sebenarnya juga dapat dilakukan oleh siapapun, serta terjadi kepada siapapun, terutama kepada influencer dan content creator di sosial media. Influencer merupakan individu yang memiliki banyak followers karena kerap memberikan konten yang bermanfaat dan menarik.
Tak jarang pula kehidupan personal influencer menjadi konsumsi publik. Maka dari itu, berbagai hal yang diucapkan oleh influencer dapat menjadi bahan senjata cyberbullying yang ditujukan kepada mereka. Membangun garis batas Sedihnya, isu cyberbullying seringkali disepelekan dan dibungkam dengan bungkus ‘kebebasan berekspresi’ oleh para pelaku perundungan (bullying).
Padahal dampak secara psikologis yang disebabkan karena cyberbullying tersebut cukup parah. Banyak kasus influencer yang mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi atau bahkan melakukan bunuh diri akibat komentar pedas dari perundung. Maka dari itu, penting untuk mengetahui batas antara kebebasan beropini dengan perilaku cyberbullying.
Kebebasan beropini yang ideal adalah menyampaikan pendapat dengan kata-kata yang baik, benar, jelas, dan pesan tidak provokatif atau menyinggung dan mengancam seseorang, suatu kelompok atau ras tertentu. Dengan begitu pernyataan atau opini yang menyimpang dari definisi tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai perundungan ruang maya.
Kecenderungan melakukan cyberbullying Pesatnya informasi terkadang membuat kita kewalahan dalam memilah informasi mana yang valid dan tidak. Dari kacamata psikologi sosial dan ruang maya, pada dasarnya individu memiliki prinsip dan norma budaya yang mereka anut secara turun temurun.
Maka dari itu, persepsi kita dalam menerima sebuah informasi pasti akan dipengaruhi oleh nilai dan norma tersebut. Inilah salah satu alasan kita suka berkomentar dengan informasi yang ada, termasuk terkait prinsip atau opini yang dimiliki influencer. Manusia memiliki kecenderungan untuk memberikan sanksi sosial pada individu yang dianggap ‘menyimpang’ dari norma budaya yang berlaku. Sama seperti kasus influencer yang memilih childfree, banyak warganet Indonesia yang kontra dan menghakimi influencer tersebut atas pilihan hidupnya.
Apalagi influencer tersebut adalah seorang WNI perempuan yang berjilbab sehingga masyarakat merasa bahwa seharusnya norma budaya yang dianut oleh influencer tersebut sama dengan budaya mayoritas masyarakat Indonesia.
Perbedaan pandangan terhadap norma inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu muncul perilaku cyberbullying oleh warganet terhadap influencer. Mencegah perilaku cyberbullying Kita semua ingin mencegah terjadinya perilaku cyberbullying.
Maka dari itu, kita perlu lebih bijak dalam bermedsos tanpa harus menghilangkan platform tersebut dari kehidupan kita. Berbagai medsos seperti Facebook dan Instagram saat ini telah memiliki kebijakan yang sangat ketat terkait dengan cyberbullying. Komentar-komentar yang dianggap mengandung unsur kebencian akan terdeteksi oleh sistem dan akan di take down serta pengguna diberi peringatan.
Namun yang terpenting, kita harus mencegah perilaku cyberbullying dari diri kita sendiri, dengan memberikan komentar yang positif serta membawa manfaat bagi orang lain. Bila memang ada perbedaan persepsi atau opini, dapat disampaikan secara konstruktif dan kembali ke pandangan bahwa pada dasarnya manusia pasti memiliki perspektif yang berbeda-beda karena nilai yang mereka anut. Kesimpulannya, cyberbullying dapat dicegah dengan bijak bermedsos dan mengenali batasan yang baik dalam beropini di era digital ini.
Penulis adalah Ketua , Prodi Psikologi FIP Unesa, Surabaya