Konsep presidential threshold tidak dikenal dalam teks akademik ilmu politik. Istilah itu khas Indonesia, yang menunjuk ketentuan, bahwa partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki sedikitnya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara pemilu DPR agar bisa mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pembenaran Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap ketentuan ini belum memuaskan sehingga banyak pihak tetap antre mengajukan gugatan.
Ketentuan ambang batas pencalonan presiden tercantum pada Pasal 222 UU No 7/2017, yang diadopsi dari Pasal 9 UU No 42/2008. Kompaspedia mencatat, MK telah menerima 23 gugatan dan semuanya dijawab negatif: tidak diterima, tidak memenuhi syarat, dan tidak dikabulkan. Dalih penggugat, mulai dari mengurangi hak partai politik, mereduksi hak pemilih, membuat masyarakat terbelah, hingga memperkuat oligarki politik, diabaikan oleh hakim konstitusi.
Bagi MK, ketentuan ambang batas pencalonan merupakan wewenang pembuat undang-undang (open legal policy). Pendelegasian pencalonan presiden oleh partai politik harus dibuktikan kemampuannya dalam menggalang dukungan pemilih melalui pemilu legislatif. Soal besaran dukungan (suara atau kursi), itu terserah pembuat undang-undang.
Pemilih juga tidak tereduksi haknya karena mereka bebas memilih satu dari calon-calon yang diajukan partai politik. Menurut MK, ambang batas pencalonan presiden merupakan upaya memperkuat sistem presidensial, karena partai-partai politik dipaksa berkoalisi sebelum pemungutan suara sehingga dapat menghindari politik dagang sapi dalam pengisian jabatan pemerintahan setelah pemilu, sebagaimana terjadi dalam sistem parlementer.
Mengapa jawaban MK tidak memuaskan? Pendekatan normatif (legal-konstitusional) memang sering berbeda hasilnya dengan pendekatan sosiologis (realitas politik) dan atau pendekatan filosofis (idealitas politik) yang jadi dalih penggugat. Namun pokok masalahnya bukan di situ, melainkan pada kegagapan MK dalam menjelaskan bekerjanya sistem pemilu presiden secara utuh sehingga terbuka untuk terus dipersoalkan.
Dalam sistem pemilu presiden terdapat tiga variabel penting: (1) metode pencalonan (candidacy), (2) metode pemberian suara (balloting), dan (3) formula calon terpilih (electoral formula). Metode pemberian suara dengan cara memilih salah satu pasangan calon bisa ditempatkan sebagai variabel tetap (tidak bisa diutak-atik lagi) sehingga yang harus diperhatikan adalah hubungan antara metode pencalonan dengan formula calon terpilih.
Tentang metode pencalonan, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatur, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Sedangkan formula calon terpilih, terdapat tiga ketentuan bertingkat: pertama, Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 menyatakan, calon terpilih harus meraih suara 50 persen lebih dan sedikitnya di separuh provinsi meraih suara 25 persen lebih (absolute majority plus); kedua, Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 menyatakan, jika tidak ada pasangan calon yang memenuhi ketentuan pertama, maka dilakukan pemilu putaran kedua yang diikuti peraih suara terbanyak pertama dan kedua, dan calon terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak (absolute majority); Ketiga, Putusan MK No 50/PUU-XII/2014 menyatakan, jika hanya terdapat dua pasangan calon, maka calon terpilih adalah pasangan calon peraih suara terbanyak (absolute majority).
Formula calon terpilih yang menggunakan rumus absolute majority (A> B+C+D, di mana A adalah pemenang) sudah tuntas di konstitusi. Sedangkan metode pencalonan masih harus dijelaskan dengan undang-undang, sehingga keluarlah ketentuan ambang batas pencalonan presiden, yang terus dipersoalkan. Untuk menuntaskan masalah ini, maka hubungan metode pencalonan dan formulasi terpilih harus dijelaskan dengan logika dan pengandaian.
Pertama, jika partai politik yang memiliki kursi di DPR bisa mengajukan calon, bahkan calon independen diperkenankan, maka akan muncul banyak calon. Tetapi karena formula absolute majority, apabila tidak ada calon yang meraih 50 persen lebih suara, maka digelar pemilu putaran kedua, yang diikuti oleh dua pasangan calon.
Nah, dengan dua pasangan calon pada putaran kedua, dalih penggugat terjawab: pertama, pemilih yang memiliki banyak alternatif pilihan, akhirnya dihadapkan pada dua pilihan juga, sehingga; kedua, dua calon di babak akhir tetap membuat pemilih terbelah. Jadi, menghindari pemilih tidak terbelah dalam pemilu presiden dengan formula absolute majority adalah ilusi. Sebab, membelah pemilih adalah sifat bawaan dari formula absolute majority, bagaimanapun metode pencalonannya.
Jika hendak menghindari pembelahan pemilih sekaligus membebaskan metode pencalonan, maka pemilu presiden harus menggunakan formula simple majority (A>B>C>D, di mana A pemenang). Dengan rumus ini, berapapun jumlah calon tidak masalah, sebab pemenang adalah calon yang meraih suara terbanyak, berapapun persentasenya. Formula ini bisa mendorong pembentukan dua koalisi besar pengusul calon presiden tanpa harus membatasi calon yang akan tampil.
Simple majority juga berkontribusi terhadap penyederhanaan partai politik apabila pemilu presiden dan legislatif diselenggarakan serentak. Masalahnya, UUD 1945 tidak menggunakan formula ini sehingga untuk menggunakannya diperlukan perubahan konstitusi.
Hasil pemilu formula simple majority sering diperdebatkan karena pemimpin yang dihasilkannya dinilai tidak legitimate karena bisa terpilih kurang dari 50 persen suara. Namun soal legitimasi ini berhenti pada tataran konsep. Sebab, diterima-tidaknya kepemimpinan pemerintahan hasil pemilu kenyataanya bergantung pada kelakuan dan kinerja pemimpin terpilih.
Secara konsep formula absolute majority yang menyebabkan pemilu dua putaran justru mengundang tanda tanya besar, sebab sering terjadi pemenang putaran pertama kalah pada putaran kedua akibat pecundang bersatu. Dengan kata lain, pemenang malah ditentukan oleh pecundang. Meskipun demikian jika kelakuan dan kinerja pemenang bagus, tetap saja kepemimpinannya diterima pemilih.
Pemilu dua putaran yang dihasilkan oleh formula absolute majority kenyataanya juga menimbulkan dua masalah besar. Pertama, penyelenggaraan pemilu dua kali tidak hanya menelan banyak anggaran negara dan menyita waktu pemilih, tetapi juga membutuhkan banyak dana yang harus ditanggung calon dan partai politik.
Kedua, pemilu dua putaran juga menyebabkan proses koalisi bertahap (sebelum pemilu, sebelum pemilu putaran kedua, dan setelah pemilu) sehingga menghasilkan koalisi rapuh dan gagal menciptakan pemerintahan efektif.
Inilah yang terjadi pasca-Pemilu Presiden 2004 sehingga semua partai politik (yang menang maupun yang kalah) sepakat mempertahankan dan meningkatkan ambang batas pencalonan presiden guna menghindari pemilu dua putaran.