PENELUSURAN kekayaan tidak wajar pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo berangsur mengungkap indikasi berbagai modus praktik culas di lingkungan Kementerian Keuangan. Mulai permainan penghindaran pajak, pencuci an uang, hingga celah gratifikasi dan suap. KPK menemukan sebanyak 134 pegawai Ditjen Pajak memiliki saham di 280 perusahaan.
Aset dan penghasilan dari perusahaan-perusahaan itu banyak yang tidak dicantumkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Ketika ada yang tidak dilaporkan, patut diduga ada kesengajaan menyembunyikan harta tersebut. Penyembunyian harta mungkin karena asal usulnya ilegal agar terhindar dari kewajiban membayar pajak atau sebab lainnya yang samasama mencurigakannya.
Ada pula kepemilikan saham perusahaan yang berkelindan antarpegawai pajak. Nama Wahono Saputro yang melaporkan kekayaan senilai Rp14 miliar disebut KPK memiliki saham perusahaan istri Rafael. Kepemilikan itu atas nama istri Wahono. KPK pun mencurigai kepemilikan perusahaan konsultan oleh pejabat pajak atau keluarganya. Di satu sisi, kepemilikan itu sangat tidak etis karena sarat konfl ik kepentingan. Di sisi lain, pegawai yang bersangkutan mungkin saja memanfaatkannya untuk memperkecil nilai pajak yang harus dibayarkan, baik oleh dirinya maupun orang lain.
Di situ ada celah rasuah. Bukan hanya pejabat pajak, KPK juga mulai memanggil pejabat Ditjen Bea dan Cukai untuk mengklarifi kasi harta kekayaan mereka. Saat ini, baru satu yang sudah menjalani pemeriksaan, yakni Kepala Bea dan Cukai Yogyakarta Eko Darmanto.
Berikutnya giliran Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono. Baik Eko yang sudah dicopot dari jabatannya maupun Andhi sama-sama tepergok suka memamerkan kekayaan dan bergaya hidup mewah. Kita berharap KPK tidak berhenti hanya sampai Rafael, Wahono, Eko, dan Andhi. Klarifi kasi harta kekayaan aparat negara semestinya menjadi prosedur rutin dalam pencegahan korupsi. Ketidakwajaran kekayaan bukan semata jumlah yang fantastis, melainkan juga pelaporannya yang tidak sesuai dengan kekayaan yang tampak.
Wira-wiri transaksi keuangan pejabat dan keluarganya merupakan salah satu indikator kekayaan yang ternyata masih kerap diabaikan. Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan, dalam kurun waktu 2009-2023 terdapat transaksi-transaksi mencurigakan di lingkungan pegawai Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai senilai tidak kurang dari Rp300 triliun.
Transaksi yang telah dilaporkan PPATK tersebut melibatkan 460 lebih individu. Lalu, apa yang terjadi dengan laporan-laporan tersebut kalau bukan diabaikan? Ini sungguh menyia-nyiakan kerja keras PPATK dan kepatuhan lembaga jasa keuangan melaporkan transaksi mencurigakan. Kita memang mengapresiasi komitmen Menkeu Sri Mulyani Indrawati bersih-bersih di Kemenkeu.
Hanya komitmen seperti itu sudah begitu sering kita dengar. Aksi-aksinya kerap hanya hangat-hangat tahi ayam. Sekarang, kita tantang Menkeu dan KPK untuk melembagakan klarifi kasi kekayaan pegawai dan pejabat. Peran inspektorat jenderal untuk menegakkan integritas aparatur negara mesti diaktifkan. Itjen wajib meneliti laporan PPATK, cocokkan dengan SPT Pajak, LHKPN individu yang bersangkutan, dan aduan masyarakat. Bila dikemudian hari KPK mengungkap tersangka korupsi, Itjen instansi harus ikut memeriksa untuk melihat apakah ada pengabaian tugas. Tidak hanya di Kemenkeu, klarifi kasi rutin kekayaan juga mesti diterapkan di semua instansi pemerintahan. Ayo, sikat para mafi a dan koruptor sampai habis.(**)